Tuesday, November 10, 2020

AKHLAH DALAM EKONOMI

 

AKHLAH DALAM EKONOMI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Dalam ekonomi Islam kita harus memilki akhlak yang baik atau etika yang baik, dengan kata lain pelaku ekonom harus memilki prinsip yang baik dalam bertansaksi, berperilaku, berelasi, atau perhubungan dengan pelaku ekonom lain agar dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip moralitas. Dalam menjalankan ekonomi Islam, tentu ada etika yang haru dimiliki seorang pembisnis, karena tanpa etika yang baik ekonomi Islam tidak akan berjalan dengan baik.

            Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam merupakan system kehidupan yang bersifat komperehensif yang mengatur semua aspek, baik dalam kehidupan social, politik dan ekonomi maupun yang bersifat spiritual. Dalam menjalankan kehidupan ekonomi, entu Allah telah menetapkan aturan-aturan yang merupakan batas-batas perilaku manusia sehingga menguntungkan suatu individu tanpa merugikan individu yang lain. Perilaku inilah yang harus diawasi dengan ditetapkannya aturan-aturan yang berlandaskan aturan Islam untuk mengarahkan individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan dan mengontrol berjalannya aturan tersesbut.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pandangan Islam terhadap harta ?

2.      Bagaimana pandangan Islam terhadap kerja atau usaha ?

3.      Bagaimana akhlak dalam ekonomi (perbankan, perdagangan dan pertanian) ?

4.      Bagaimana akhak dalam mentasharufkan harta ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui dan memahami pandangan Islam terhadap harta

2.      Mengetahui dan memahami pandangan pandangan Islam terhadap kerja atau usaha

3.      Mengetahui dan memahami pandangan akhlak dalam ekonomi (perbankan, perdagangan dan pertanian)

4.      Mengetahui dan memahami pandangan akhak dalam mentasharufkan harta

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pandangan Islam Tentang Harta

1.      Pengertian Harta

Pengertian harta secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu”mal” yang digunakan oleh para fuqoha salaf dalam pengertian yang sempit. Istilah mal hanya ditrerapkan pada objek-objek yang tampak, yaitu barag yang memenuhi kebutuhan jasmani yang nyata.

fuqaha kontemporer mendefinisikan harta secara umum dan luas yaitu, segala sesuatu yang dapat menjadi hak milik seseorang dan dapat diambil manfaatnya. Misaya, al-Zarqa, mengartikan mal berarti segala sesuatu yang bernilai dan bersifat harta atau segala sesuatu yang bernilai material di kalangan masyarakat. Oleh karena itu dalam komplikasi hukum ekonomi islam tentang harta, diartikan sebagai suatu benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak beruwujud dan yang memiliki nilai ekonomis.Menurut para ulama, terdapat empat ciri harta yaitu,

a.       Memiliki nilai

b.      Harus merupakan barang yang boleh dimanfaatkan

c.       Harus dimiliki

d.      Bisa disimpan

e.       Pembagian harta

Dari segi jenis, terdapat dua jenis benda, pertama benda bergerak  yaitu benda yang dapat pindah atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, kedua benda tetap yaitu benda yang tidak dapat pindah atau dipindahkan. Benda di klasifikasikan kepada segala sesuatu yang dapat di ukur, ditimbang, dan dihitung, seperi makanan, pakaian, kendaraan, logam mulia, surat berharga, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Sementara harta tetap seperti, tanah dan bangunan.

Dari segi nilai harta dibagi menjadi dua, yang pertama benda bernilai yaitu benda yang secara riil dimilki seseorang dan boleh diambil manfaatnya. Yang kedua harta benda tidak bernilai yaitu benda yang belum secara riil dimiliki seseoarang dan tidak boleh diambil manfaatnya.

Dari segi ketersedian barang benda dapat di klasifikasi menjadi mitsli (serupa) dan qimi (tidak serupa). Suatu benda dimasukkan dalam kelompok mitsli yaitu benda yang dapat diperoleh di pasar yang dapat diganti dengan benda lain yang sejenis. Suatu benda dimasukkkan dalam kelompok qimi yaitu bnda yang tidak memiliki persamaan di pasar atau kalaupun ada, terdapat unsur-unsur yang berbeda. Harta qimi dapat diganti dengan harga. Sebagiman Allah berfirman Q.S Al-kahfi ayat 46.[1]

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

 

2.      Status kedudukan harta

a.       Sebagai amanah

Manusia tidak mampu mengadakan benda dari tiada sehingga manusia hanya diberi amanah untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai ketentuan Allah swt. Selain itu, islam berpendirian bahwa kekayaan dan harta yang berada ditangan pribadi manusia adalah bukan saja berasal dari Allah, tetapi adalah miik Allah swt. Hal tersebut dapat diketahui dari surah Al-Baqarah ayat 29.

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

b.      Sebagai perhiasan hidup

Manusia memiliki sifat kecenderungan untuk memiliki menguasai dan menikmati harta seperti yang telah ditegaskan dalam Al-Quran surah Al-Imran ayat 14:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan seperti yang tertulis dalam surah Al-Alaq ayat 6-7:

كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙاَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup”

 

c.       Sebagai ujian keimanan

Bagaimana harta itu diperoleh dan untuk apa penggunaannya. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam atau tidak.

d.      Sebagai bekal ibadah

Harta sebagai bekal ibadah yaitu, untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesame manusia, melalui zakat, infak, dan shadaqah. Seseorang yang menguasai harta atau tidak, diwajibkan untuk mengembangkan harta tersebut, untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dari keuntungan perputaran modal.[2]

3.      Cara Meperoleh Harta

Kepimilikan harus didapatkan dengan usaha atau mata pencaharian yang halal. Dilarang mencari harta, berusha, danbererja yang dapat melupakan kematian melupakan dikrullah, melupakan shalat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti kegiatan riba, perjudian, jua beli barang yang haram mencuri dan sejenisnya, curang dalam takaran dan timbangan dan cara-cara yang bathil dan merugikan. Seperti firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 267:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

Selain itu, terdapat harta yang diperoleh tanpa diusahakan. Harta tersebut adalah harta warisan, penemuan harta terpendam dan mendapatkan pemberian dari pihak lain tanpa memintanya. Tetapi, tidak semua harta temuan bisa dimiiki keculi jika penemu barang tersebut telah mengumumkan akan kepemilikannya dan menunggunya selama 1 haul (1tahun) jika bararang tersebut bernilai 10 dirham dan jika kurang dari 10 dirham maka menungunya selama 3-6 hari. Apabila ada yang mengakuinya maka ia wajib mngembalikannya. Namun, apabila tidak ada yang mengakuinya maka ia berhak memilik brang tersebut.[3]

4. Kewajiban Manusia Terhadap Harta

a. Mencarinya Secara Halal

Kewajiban pertama berkenaan dengan harta adalah mencarinya dengan cara yang halal. Karena hanya harta yang diperoleh secara halal yang akan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Oleh karena itu Islam memandang usaha mencari rezki yang halal sebagai amalan yang mulia. Bahkan Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutnya sebagai kewajiban bagi setiap Muslim. “Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu/ wajib atas tiap muslim”, tegas Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Mukhtashar Minhajil Qashidin.

Perkataan Ibnu Qudamah di atas merupakan pengejawantahan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk memakan yang halal dan mengancam dari mengkonsumsi yang haram. Sebagaimana dalam Surah Al-Maidah ayat 88, dan An-Nahl ayat 114,

وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Terj. Al-Ma’idah: 88)

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Terj. An-Nahl: 114).


Selain itu dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi kita temukan larangan dan ancaman dari penghasilan yang haram. Baik haram dzatnya maupun haram prosesnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud Dari Al-Qasim bin Mukhaimirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

مَنِ اكْتَسَبَ مَالًا مِنْ مَأْثَمٍ فَوَصَلَ بِهِ رَحِمَهُ أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ، جَمَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ جَمِيعًا فَقُذِفَ بِهِ فِي جَهَنَّمَ

“Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil).

Sekali lagi, silaturrahim, sedekah, berinfaq fi sabilillah termasuk amalan-malan yang mulia. Namun jika amalan yang mulia tersebut dilakukan dengan harta yang haram, bukan pahala yang didapatkan, tapi dosa, bahkan pelakunya akan dilemparkan ke dalam neraka. Oleh karena itu, mari berhati-hati dari harta yang tidak halal. Karena setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.

b. Tidak Menumpuknya

Allah Ta’ala mengecam bahkan mengancam orang yang menimbun harta tanpa menginfakkannya di jalan Allah. Allah Ta’ala mengancam dengan kecelakaan (wail) bagi orang yang hanya mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa menunaikan kewajiban berkenaan dengan harta itu. Sebagaimana dalam surah Al-Humazah dan At-Taubah ayat 34. Allah Ta’ala berfirman yang artinya; “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak tanpa menginfakkannya di jalan Allah maka berikanlah kabar gembira kepada, (mereka akan mendapat) adzab yang pedih”. (terj. QS. At-Taubah:34).

Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa, ayat tersebut turun berkenaan dengan ahli Kitab dan kaum Muslimin yang menimbun harta mereka. Menurut para Mufassir (ahli Tafsir) bahwa yang dimaksud dengan menahan/menimbun dalam ayat di atas adalah menyimpan harta tanpa menunaikan kewajiban berkenaan dengan harta itu. Baik kewajiban yang sifatnya ritual personal (ibadah mahdhah) seperti zakat maupun kewajiban yang bersifat sosial seperti sedekah dan membantu fakir miskin. Syekh as-sa’diy rahimahullah mengatakan, yang dimaksud dengan menimbun dalam ayat di atas adalah, “menahan harta dan tidak menginfakkannya pada hal-hal wajib, seperti tidak menunaikan zakatnya, atau nafkah wajib pada istri dan kerabat, atau nafkah dalam (jihad) fi sabilillah. (Taisir Karimirrahman, 336).

Jadi, menyimpan yang terlarang adalah menumpuk dan mengumpulkan harta melebihi kebutuhan hidup tanpa maksud dan niat untuk ibadah atau kebaikan lainnya. Adapun mengumpulkan harta dengan maksud untuk kebutuhan ibadah pada masa yang akan datang maka hal itu tidak termasuk larangan. Seperti menyimpan dan mengumpulkan harta untuk diinfakkan dan disedekahkan sekaligus dalam jumlah banyak. Atau menyimpan harta agar cukup nishabnya untuk dizakatkan. Termasuk di dalamnya adalah mengumpulkan (menabung) harta untuk keperluan ibadah haji. Selain itu, yang tidak termasuk dosa menyimpan untuk keperluan duniawi yang membutuhkan persiapan seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan sebagainya dengan tetap menunaikan haknya yang wajib, yakni zakat bila memenuhi syarat.

c. Mengatur Penyaluran/Pembelanjaannya

Harta yang diperoleh secara halal seperti dijelaskan di atas hendaknya diatur penyaluran dan pembelanjaanya. Karena setiap manusia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan. Infak di sini mencakup yang wajib seperti zakat, nafkah kepada istri, anak-anak, dan kerabat, maupun yang sunnah seperti sedekah, waqaf, hadiah, menyantuni anak yatim, fakir miskin, membantu program dakwah dan sebagainya.

Berkenaan dengan ini pula hendaknya seseorang menghindari sikap boros dan kikir dalam membelanjakan hartanya. Karena itulah cara terbaik membelanjakan harta yang dikendaki oleh Allah. Yakni tidak kikir dan tidak boros, sebagaimana sikap hamba-hamba Allah yang disebutkan dalam surah Al-Furqan, “…dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (Terj. QS. al-Furqan:67).

Menurut Ibn Katsir maksud ayat diatas adalah, mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan mereka juga tidak kikir terhadap keluarganya sehingga kurang menunaikan hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan).

d. Menunaikan haknya

Kewajiban berikutnya berkenaan dengan harta adalah menjadikannya sebagai wasilah mendekatkan diri (taqarrub) dan ibadah kepada Allah. Taqarrub dan ibadah kepada Allah dengan harta (‘ibadah maliyah) memiliki ragam bentuk, seperti zakat, infaq, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, jihad bil amwal (berjihad dengan harta) dan memberi pinjaman.

Dalam ayat al-Qur’an, ibadah maliyah memiliki kedudukan yang sangat utama. Dalam sebagian ayat diisyaratkan bahwa ibadah maliyah berupa zakat, sedekah, infak, dan sebagainya merupakan ciri utama orang beriman dan bertakwa yang akan memperoleh kemulian dan pemuliaan dari Allah berupa petunjuk (hudan), rezki, al-falah (keberuntungan), yang akan berujung pada derajat yang tinggi di Surga Firdaus pada hari akhir kelak. Diantara ayat yang menerangkan hal itu adalah Surah Al-Mukminun ayat 1-11, Surah Al-Anfal ayat 2-4, dan surah Al-Baqarah ayat 1-4.

Dalam surah Al-Anfal ayat 2-4 misalnya, ketika menyebutkan sifat orang beriman yang sejati (al-Mu’minuna haqqa), Allah menyebutkan bahwa diantara ciri mereka adalah senantiasa berinfaq. Allah Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya orang beriman itu hanyalah mereka yang disebut nama Allah bergetar hatinya, jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya ayat itu membuat iman mereka makin bertambah, dan hanya Kepada Rabb mereka bertawakkal . Yaitu orang yang mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian (harta) yang Kami rezkikan kepada mereka. Mereka itulah orang beriman yang hakiki, dan mereka akan memperoleh kedudukan (derajat) yang tinggi di sisi Tuhan mereka, ampunan, serta rezki yang mulia” (terj. Qs. Al-Anfal ayat 2-4).

Menurut Syekh As-Sa’diy rahimahullah, makna infaq dalam ayat tersebut mencakup infaq yang wajib semisal zakat, kaffarat, nafkah kepada istri, kerabat, dan budak serta nafkah yang mustahabbah (sunnah) seperti sedekah dalam berbagai jalan kebaikan. (Taisir Karimirrahman, 315).

Selain Zakat, infaq dan sedekah seperti diterangkan di atas; masih ada ibadah lain yang berkenaan dengan harta. Yakni berbagi kepada sesama melalui hadiah dan memberi pinjaman. Berbagi hadiah meski bukan merupakan sebuah kewajiban namun termasuk kebaikan yang menjadi sendi kehidupan bermasyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk saling memberi hadiah agar saling mencintai. Dan dalam hadits lain Beliau mengisyaratkan, bahwa saling mencintai merupakan faktor penyubur Iman yang akan mengantarkan ke Surga. Demikian pula dengan memberi pinjaman, salah satu kebaikan yang kadang diremehkan oleh sebagian orang yang dikaruniai harta. Padahal, pinjaman memiliki keutamaan yang tidak kalah dibanding sedekah, infaq atau pemberian cuma-cuma.

5.      Pandangan Islam Terhadap Harta

Harta adalah suatu aset kekayaan kebendaan yang di butuhkan, di cari, dan di miliki oleh manusia. Harta juga sangat berguna bagi semua orang, karena dengan harta kekayaan manusia dapat memenuhi segala kebutuhan baik yang di inginkan atau yang sedang di butuhkan. Harta dapat menjadi kebahagiaan dunia dan akhirat apabila digunakan dalam hal yang benar, sebaliknya jika digunakan dalam hal yang salah maka akan menjadi suatu keburukan seperti hal nya pisau terkadang pisau dapat menolong dan terkadang dapat membunuh. Harta merupakan hal yang sangat penting bagi manusia karena dengan harta kita bisa memenuhi kebutuhan kita. Kita harus bisa mengelola harta kita dengan baik agar tidak salah dipergunakan dan mempergunakannya untuk hal yang bermanfaat.

 

Dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berarti condong, cenderung, miring. Manusia    cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Dengan demikian maka dapat di katakan bahwa semua manusia pastinya ingin selalu memperbanyak harta kekayaan dan selalu ingin memilikinya agar bisa menjadikan generasi penerusnya menjadi lebih baik.

Adapun harta menurut istilah ahli fikih terbagi dalam dua pendapat yaitu:

Menurut Ulama Hanafiyah,harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Dengan pendapat demikian maka harta berarti adalah suatu aset yang dapat di pelihara, di gunakan di perbanyak dan juga bisa sewaktu-waktu berkurang.

Pendapat Jumhur Ulama Fikih selain Hanafiyah,segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. Maka berarti harta kekayaan bisa saja di salah gunakan sehingga bisa menjadi miskin.

Dalam ilmu ekonomi posisi harta benda memiliki posisi yang sentral. Apabila dalam ekonomi konvensional harta (asset) dianggap sebagai salah satu modal atau faktor produksi, akan tetapi islam memposisikan harta benda sebagai pokok kehidupan sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Al-qur’an surah An-nisa’ ayat 5 bahwa harta benda sebagai tiang atau pilar pokok kehidupan (qiyama). Seperti hal nya kita tidak dapat berdiri tanpa adanya tiang berupa kaki karena itu hidup di dunia akan terasa hampa tanpa adanya harta benda karena harta merupakan hal yang berharga dan merupakan kebutuhan untuk kelangsungan kehidupan kita.

Pengelolaan harta dalam islam dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Pengelolaan harta yang dihalalkan terdiri dari:

Ø  Pembelanjaan harta (infaqul Mal) yaitu pemberian harta kekayaan yang di miliki yaitu memberikan sebagian harta kepada orang lain yang lebih membutuhkan karena harta yang kita  miliki titipan dari Allah dan sebagian dari harta kita merupakan milik orang lain yang membutuhkan, jadi kita harus menzakatkan harta yang kita miliki kepada orang yang berhak menerimanya.

Ø  Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal) yaitu kegiatan memperbanyak jumlah harta yang dimiliki. Mengembangkan harta kekayaan bisa di lakukan dengan cara berbisnis atau di sahamkan ke berbagai perusahaan atau dengan cara apapun asalkan itu halal.

b. Pengelolaan Harta yang diharamkan terdiri dari:

 

Ø  Riba, riba bisa di katakan memberikan pinjaman kepada orang dengan mengambil bunga, dan hal demikian di haramkan dalam islam.

Ø  Ihtikar (menimbun disaat orang lain membutuhkan), yaitu tidak memberikan sebagian dari hartanya padahal ada seseorang yang sangat membutuhkan.

Ø  Penipuan, yaitu menjanjikan iming-iming untuk membawa hasil yang sangat menguntungkan, padahal itu hanya sebagian dari unsur penipuan.

Ø  Berdagang barang-barang yang diharamkan, yaitu berbagi kepada orang akan tetapi harta atau makanan yang di bagikan berupa barang curian atau benda lain yang di haramkan.

 

B.     Pandangan Islam Terhadap Kerja atau Usaha

1.      Pengertian Berkerja dalam Islam

Bekerja di dalam Islam merupakan sebuah usaha yang dilakukan dengan serius dengan cara mengerahkan semua pikiran, aset dan juga dzikir untuk memperlihatkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus mentaklukkan dunia dan memposisikan dirinya menjadi bagian masyarakat paling baik [Khairu Ummah].

Bekerja menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis serta sosial. Dengan jalan bekerja, maka manusia bisa mendapatkan banyak kepuasan yang meliputi kebutuhan fisik, rasa tenang dan aman, kebutuhan sosial dan kebutuhan ego masing-masing. Sedangkan kepuasan di dalam bekerja juga bisa dinikmati sesudah selesai bekerja seperti liburan, menghidupi diri sendiri dan juga keluarga.

Jika dilihat secara hakiki, maka hukum bekerja di dalam Islam adalah wajib dan ibadah sebagai bukti pengabdian serta rasa syukur dalam memenuhi panggilan Ilahi supaya bisa menjadi yang terbaik sebab bumi sendiri diciptakan sebagai ujian untuk mereka yang memiliki etos paling baik. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya”. (Al-Kahfi : 7)

Kebudayaan bekerja dalam Islam juga bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam yang akan menjadikan akhlak untuk sumber energi batin yang treus berkobar dan membantu setiap langkah kehidupan untuk menuju jalan yang lurus dan semangatnya adalah minallah, fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah)

2.      Hukum Berkerja Sesuai Syari’at Islam

Rezeki memang menjadi urusan Allah dan kita sebagai manusia hanya diwajibkan untuk selalu berusaha sekuat tenaga sekaligus tidak merasa sombong dengan rezeki yang sudah didapatkan. Meskipun sudah berusaha sekuat mungkin, namun tanpa adanya campur tangan dari Allah SWT, maka bukan tidak mungkin jika rezeki tersebut tidak akan datang pada kita. Seseorang yang bekerja apa saja biasanya akan cenderung melihat sebara banyak upah atau imbalan kerja yang akan didapat dan memikirkan apakah upah tersebut adalah baik dan juga halal.

Jika dilihat secara umum, maka umat Islam berorientasi pada sabda Rasulullah SAW yaitu, “Berikanlah upah kepada pekerja”, Namun seringkali lupa dengan adanya kelanjutan yang berbunyi, “Sebelum kering keringatnya”. Ini mengartikan jika pekerjaan yang mendapatkan upah merupakan pekerjaan memeras otak serta tenaga, sementara bekerja dalam bentuk apapun yang tidak menuntut tanggung jawab atau tidak mengeluarkan keringan dan tidak perlu digapai dengan susah payah, maka tidak halal jika diterima upahnya.

§  Kewajiban Mencari Rezeki Halal

Berikut hadits yang menguatkannya:

“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

§  Ancaman Jika Tak Mau Bekerja Halal

Hadits Sahih mengatakan:

“Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia masuk neraka”. (HR. Bukhari)

§  Etos Bekerja Dalam Islam

Seorang muslim yang dapat menghayati etos dalam bekerja dengan sikap dan tingkah laku berlandaskan ibadah dan prestasi yang baik maka bisa dihasilkan dengan mengikuti beberapa etos bekerja dalam Islam

§  Istiqamah.

§  Jujur.

§  Menghargai waktu.

§  Komitmen dengan akad, aqidah dan i’tikad.

§  Memiliki harga diri.

§  Bertanggung jawab.

§  Hidup hemat dan efisien.

§  Bahagia karena melayani.

§  Memperhatikan kesehatan.

§  Pantang menyerah.

§  Memperluas jaringan silahturahmi dan sebagainya.

3.      Tujuan Berkerja Dalam Islam

Bekerja dalam ajaran Islam tidak sekedar berlandaskan tujuan yang bersifat duniawi, namun lebih kepada bekerja untuk ibadah. Bekerja akan membuahkan hasil dan hasil itulah yang bisa memberikan makan, tempat tinggal, pakaian, menafkahi keluarga sekaligus menjalani bentuk ibadah lain dengan baik.

“Bahwa Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja keras dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari)

“Dari ‘Aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang bekerja keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari)

§  Memenuhi Kebutuhan Diri dan Keluarga

Bekerja di dalam Islam merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga seperti istri, anak dan orangtua. Islam teramat menghargai semua itu sebagai sebuah sedekah, ibadah dan amalan saleh.

§  Memenuhi Ibadah dan Kepentingan Sosial

Apabila bekerja dianggap sebagai hal yang suci, maka begitu pun juga dengan harta benda yang didapatkan dari bekerja. Alat untuk memuaskan kebutuhan dan juga sumber daya manusia lewat proses kerja merupakan hak orang yang yang sudah bekerja dan harta dianggap menjadi satu bagian yang suci. Jaminan hak milik perorangan dengan fungsi sosial lewat institusi zakat, shadaqah dan juga infaq menjadi sebuah dorongan kuat untuk lebih keras dalam bekerja yang pada dasarnya merupakan penghargaan Islam pada usaha manusia.

C.    Akhlak Terhadap Ekonomi (Perbankan, Perdaganganan, dan Pertanian)

1.      Pengertian Ekonomi Islam

Istilah ekonomi beresal dari bahasa Yunani Kuno yaitu Oicos dan Nomos yang bararti rumah dan beraturan dalam kurung mengatur rumah tangga. Menurut istilah konvensional, ekonomi berrati aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan manusia dalam rumah tangga, baik tumah tangga rakyat (Volkshuishouding) maupun dalam rumah tangga Negara ( staatshuishouding).[4] Para pakar ekonomi mendefinisikan ekonomi sebagai suatu usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik materiel maupun non materiel dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, baik secara idividu maupun secara kolektif, yang menyatukan perolehan, pendistribusian ataupun penggunaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.[5] Ekonomi juga diartikan sebagai kajian perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.[6]

Dalam bahasa Arab ekonomi dinamakan al-muamalah atau al-maddiyah, yaitu aturan-aturan tantang pergaulan dan pehubungan manusia dengan kebutuhan hidupnya. Disebut juga al-iqtishad, yitu pengaturan soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. Menurut Yusuf al-Qardhawi, ekonomi islam adlah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. System ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.

Secara garis besar, pembahasan ekonomi mencakup tiga hal, yaitu ekonomi sebagai usaha hidup dan pencaharian manusia (economical life), ekonomi dalam suatu rencana suatu pemerintahan (political economy), dan ekonomi dalam teori dan pengetahuan (economical sience). Ekonomi dipandang pula sebagai sesuatu yang bekenaan dengan kebtuhan manusia dan sarana-sarana pemenuhannya yang berkenaan produksi barangdan jasa sebagai sarana pemuas kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan dan sarana-sarana pemuasnya dikaji secara tak terpisah satu dengan yang lain karena keduanya saling berkait secara sinergis; pembahasan distribusi barang dan jasa menjadi satu dengan pembahasan produksi barang dan jasa.

Nilai- nilai dasar ekonomi anatara lain dijelaskan dalam hadits nabi yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudzri yang menjelaskan tentang pedagang yang jujur yang tepercaya dalam melakukan aktivitas ekonomi sehingga tidak melakukan penipuan terhadap pembeli maupun orang lain. Kejujuran merupakan identitas pribadi yang harus dimiliki setiap muslim, termasuk para pembisnis dan pengusaha, karena dengan kejujuran segala aktivitas ekonomi akan berjalan dengan lancar tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan. Pedagang yang jujur disamping akan mendapatkan laba dan kehidupa yang berkah di dunia di akhirat kelak akan bersama Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati syahid sebagimana sabda Nabi berikut:

عن ابي الخذ رى رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : التَا جِرُ الأَمِيْنُ الصَدُوقُ مَعَ النَّبِيِّينَ و الصِّدِّيٌقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذي)

Dari Abu Sa’id al Khudzri ra katanya, Rasulullah saw bersabda “Pedagang yang jujur, terpercaya akan bersama para nabi, para shiddiqin dan syuhada” (H.R. Tirmidzi)

 

2.      Ekonomi Berdasarkan Prinsip Syariah

System ekonomi berdasarkan prinsip syariah tida hnya merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi, tetapi juga merupakan sarana untuk merealokasi sumber-sumber daya kepada orang yang berhak menurut syariah sehingga dengan demikian tujuan efisiensi ekonomi dan keadilan dapat dicapai secara bersamaan. Selanjutnya, deangan kebehasilan mencapai tujuan ekonomi berdasarkan prinsip syariah berarti tercipta lingkungan masyarakat yang sempurna.

Namun, tujuan tersebut tidak mungikin dapat terwujud tanpa usaha maksimal. Dibutuhkan strategi untuk menstrukturisasi system sosio-ekonomi secara menyeluruh. Strukturisasi tersebut harus disertai dengan upaya mereformasi system politik, hukum, ekonom dan social, dengan melibatkan partisipasi semua warga Negara dalam upaya strukturisasi tersebut, ajaran Islam mengajarkan agar proses untuk mencapai yang diharapkan itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang dibenarkan. Satu contoh adalah proses memperoleh hak milik. Sebagaimana kepemilikan tidak dijelaskan pada dasarnya adalah milik Alah bersifat mutlak, sedangkan kepemilikan kepada manusia adalah bersifat nisbi (sementara) sebagai amanah dari Allah.

Manusia tidak boleh mengabsolutkan hak milik untuk dijadikan objek sewenang-wenangan terhadap apa yang dimilikinya. Hak mlik harusdipandang sebagai suatu amanah dari Allah swt. kepada manusia. Apa yang diamanahkan Allah kepada manusia atas hak milik tersebut, tidak lain adalah agar hak milik itu digunakan untuk kemaslahatan diri dan ingkungan sekitarnya sehingga tersirat pula kewajiban untuk memeliara dan menjaga hak mlik tersebut. Maka, pada tingkat normative, paradigma tersebut akan mewujudkan hak dan tanggungjawab individu bukan hanya kepada manusia saja, tetapi juga kepada sang pencipta, Allah swt.[7]

3.      Perbankan

a.       Definisi Bank

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang prorangan, badan-badan swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Meurut KBBI, bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (2):

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

 

b.      Definisi Perbankan

Pengertian perbankan menurut para ahli dan peraturaturan perundang-undangan sebagai berikut:

1.      Menurut Gandapraja, perbankan adalah tataran dari berbagai jenis dan fungsi perbankan yang harus bergerak secara harmonis dan sinergis menuju sasaran yang ditetapkan.

2.      Menurut Gunarto Suhadi, perbankan adalah kegiatan usaha yang selalu melayani dan hidup dalam kesatuannya dengan kegiatan ekonomi nyata dimasyarakat manapun.

3.      Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (1) adalah segala segala seuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan kegiatan, usaha, serta tata cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

c.       Definisi Bank Syariah

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 1 tentang perbankan syariah, perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut entang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegitan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegitan usahanya.

d.      Akhlak Dalam Perbankan

Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:

  • Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.
  • Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
  • Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan wajib dlakukan sehingga tidak seorang pun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat (bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).
  • Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.
  • Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).
  • Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.
  • Sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu dalam koridor-koridorprinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak
  2. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
  3. Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya
  4. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Prinsip-Prinsip syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah adalah kegiatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  • Maisir:  Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisirsering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90) Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
  • Gharar : Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Menurut istilah ghararberarti seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.  Pelarangan ghararkarena memberikan efek negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang gharar diantaranya :“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah : 188)
  • Riba:  Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. 

4.      Perdagangan

a.       Definisi perdaganagan

Perdagangan atau perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama bukan pemaksaan. Di dalam perdaganaganterdapat jual beli, tawar menawar, sewa menyewa. Jual beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli. Kata juala dalam bahasa Arab dikenal dengan al bai’ yang artinya menjual. Adapun kata beli dikenal dengan istilah Al Syira yang artinya membeli. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual sedangkan kata beli menunjukkan adanya perbuatan membeli. Secara etimologi, jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan sesuatu yang lain.

 Adapun definisi jual beli secara istilah menurut Said Sabiq jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Sedangkan menurut Abu Mahmud Al Ayni pada dasarnya jual beli adalah penukaran barang dengan barang yang dilakukan dengan suka sama suka. Definisi ini sejalan dengan firman Allah bahwa jual beli harus didasarkan pada keinginan sendiri dan atas dasar suka sama suka yaitu pada QS. An Nisa ayat 29.

فَادْخُلُوْٓا اَبْوَابَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗفَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِيْنَ

Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Pasti itu seburuk-buruk tempat orang yang menyombongkan diri.

b.      Tujuan Perdagangan

Dalam aktivitas jual beli terdapat unsur tolong menolong, dimana pihak penjual mencari rezeki dan mencari keuntungan dari hasil penjualan barangnya, sedangkan pembeli terpenuhi kebutuhan hidupnya. Al Qur’an sendiri sudah mensyari’atkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan tolong menolong sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al Maidah ayat 2.

تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

c.       Akhlak dalam perdagangan

 

1.   Jujur atau terbuka atau transparan

Dalam sebuah bisnis Islam, customer adalah raja, dan sebagaimana mestinya seorang raja harus diperlakukan secara khusus. Hal ini menyangkut bagaimana pelayanan kita kepada mereka, pada customer akan merasa lebih nyaman daripada kita, jika kita dapat memberikan pelayanan yang memuaskan. Bahkan terkadang mereka tidak akan memperdulikan perbedaan harga melainkan pelayanan yang kita berikan. Dalam sebuah perdagangan, kejujuran adalah sebuah hal yang sangat penting.

Islam mengajarkan kita ilmu berdagang yang baik, etika atau adab berdangang yang benar. Oleh karena itu kita sebagai orang islam wajib menjunjung tinggi etika yang telah diajarkan dalam agama.

2.      Menjual barang halal.

Allah telah menetapkan prinsip halal dan haram oleh sebab itu, sebagai umat muslim yang melakukan perdangangan kita wajib mengetahui asal muasal dari apa yang kita perjual belikan. Selain itu, sebagi kehalalan hasil yang kita dapatkan juga harus terhindar dari riba.

3.      Menjual barang dengan kualitas baik

Sebagai pedagang kita harus tetap jujur dan memperhatikan kehalalan dari barang yang kita jual. Selain itu kita memperhatikan bagaimana kualitas barang kita jual, apakah mutunya sudah baik atau kurang layak kita jual pada pembeli. Karena, kualitas barang merupakan tanggung jawab pedagang. Memberikan keterangan merupakan hal wajib yang kita lakukan karena jika kita tidak jujur dengan kualitas barang akan berdampak negatif pada diri pedagang yaitu hilangnya kepercayaan pelanggan.

4.      Tidak menyembunyikan cacat pada barang

Sebagaimana sebagai pedagang menerangkan bagaimana kualitas barang ia juga wajib menjelaskan barang yang dijualnya apabila bebentuk cacat.

5.      Tidak memberikan janji atau sumpah palsu

Apabila kita pergi ke pasar, kita sering menjumpai pedagang yang mengatakan “barang dijamin tidak mudah rusak dan harganya paling murah” kata-kata seperti termasuk dalam janji atau sumpah yang bharus dipertanggng jawabkan pedagang.

6.      Murah hati kepada pembeli

Melayani customer dengan murah hati akan membuat mereka mersa lebih dihargai dan puas dengan pelayanan kita. Cukup dengan senyum dan memperlakukan mereka seperti raja membuat mereka lebih senang daripada memberikan potongan harga.

7.      Tidak melalaikan sholat saat berdagang

Allah memerintahkan kita untik tidak melalaikan sholat apalagi meninggalkannya, seorang muslim yang baik pasti akan melakukan apa saja kepada Allah begitu pula dalam berdagang kita harus memperhatikan kewajiban sholat setiap waktu. Mengutamakan akhirat daripada dunia adalah hal yang baik dan harus kita lakukan setiap waktu.

8.      Memenuhi etika jual beli

Ø Tidak saling menjatuhkan harga dengan pedagang lain

Ø Menepati janji yang dikatakan

Ø Mengeluarkan hak orang lain atau zakat

Ø Amanah kepada pembeli stelah mencatat piutang

Ø Sabar kepada pembeli

Ø Tidak sombong kepada pembeli

Ø Adil dalam berdagang

 

5.      Pertanian

a.      Pengertian Pertanian

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaranhewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzimdalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanahmeteorologiteknik pertanianbiokimia, dan statistika juga dipelajari dalam pertanian. 

b.      Akhlak dalam pertanian

1.      Pengambilan keputusan yang baik mengenai penggunaan pendekatan dan kebijakan pertanian.

2.      Mempertahankan keragaman hayati dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dengan cara tidak menggunakan pupuk berbahan kimia.

3.      Pengolahan yang dilakukan harus tertuju pada tujuan sosial ekonomi yang diharapkan mampu mengatasi tantangan yang ada, dan juga dapat berkontribusi dalam  meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan manusia serta perlindungan lingkungan.

4.      Dalam kontribusi akses pemanfaatan sumber daya harus adil sehingga tidak boleh ada monopoli.

5.      Menghidupkan tanah yang mati agar dapat memberikan manfaat bagi kehidupan. Apabila ada lahan gersang ditanami pohon, tanah tersebut menjadi kuat dan mampu menyerap air hujan sehingga tidak mudah banjir dan longsor.

D.    Akhlak dalam Mentasharufkan Harta

6.      Pengertian Mentasharufkan Harta

Mentasharufkan berasal dari bahasa Arab yaitu tashara yang artinya mengelola atau mengolah. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mengelola hartanya agar tidak  berhenti dalam satu kegiatan. Islam juga sudah memberikan tata cara dalam mengelola harta yaitu dengan cara sedekah, zakat dan membelanjakan harta dalam hal kebaikan yang sesuai dengan syari’at islam.

7.      Akhlak Dalam Mentasharufkan Harta

Berikut adalah etika dalam mentasharufkan harta :

a.       Menggunakan harta secukupnya

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinyasegala kebutuhan hidup. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen,dan jika daya beli masyarakat yang berkurang karena sifat kikir yang melampau batas maka cepat atau lambat roda produksi akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.

b.      Tidak Berbuat Mubaazir

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluaganya serta menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain, Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan sifat mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta hanya untuk menuruti hawa nafsu belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.

c.       Tidak Menghambur-hamburkan Harta (Boros)

Al-Hafidz berkata dalam hadist Bukhari “Sesungguhnya Allah memakruhkan kamu mnghambur-hamburkan uang.” Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang selalu berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan harta. Diantara sikap menghamburkan uang/harta ialah perbuatan yang melebihi kebutuhan apalagi jika ditambah dengan hiasan mewah. Menhambur-hamburkan uang dalam kegiatan maksiat termasuk perbuatan keji.

Di dalam kehidupan terdapat cara membelanjakan harta dengan cara halal, yaitu:

1.      Membelanjakan harta untuk kebaikan

Dalam membelanjakan harta seorang muslim seyogyanya memilikikonsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama dan yang penting harta tersebut diperoleh dengan cara baik pula.

2.      Menghindari pembelanjaan barang mewah

Jika kita tergolong orang yang mampu, seharusnya malu jika masih tetap membelanjakan harta untuk barang-barang yang mewah yang tak ada manfaatnya sama sekali. Kita dengan bangganya menenteng handphone, mengendarai mobil mewa, rumah bertingkat, makanan enak buatan produk impor, dll. Namun di sisi lain tetangga dan saudara kita banyak yang hidupnya serba pas-pasan bahkan jauh dar mencukupi.

3.      Menghindari pembelanjaan yang tidak di syari’atkan

Diantara pembelanjaan dan pengeluaran yang tidak di syariat’kan adalah segala bentuk pengeluaran untuk yang tidak diperintahkan dalam agama. Selain itu, pembelian untuk sesuatu yang mengarah pada perbuatan bid’ah dan kebiasan buruk seperti membeli barang-barang mewah buatan luar negri termasuk pengeluaran yang tidak di syari’atkan karena manfaatnya sangat rendah.

4.      Bersikap tengah-tengah dalam pembelanjaan

Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala perkara begitu pula dalam mengeluarkan harta yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang merusak jiwa, harta, dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat membekukan dan menahan harta.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdsarkan materi yang telah dibahas sebelumnya, dalam melaksanakan kegiatan ekonomi Islam, selalu diiringi dengan adanya akhlak. Akhlak mempunyai peran penting dalam melaksanakan kegiatan ekonomi Islam. Akhlak menggambarkan bagaimana sesorang berperilaku khususnya dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya akhlak kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah telah memerintahkan umatnya untuk selau berbuat baik dalam kegiatan apapun. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Dalam menjalankan kegiatan ekonomi seperti mengelola harta, kerja atau usaha, berdagang, bertani dan diperbankan salalu dituntut untuk adil, jujur, optimis dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa ayat 29, Allah telah melarang umatnya untuk berperilaku sombong, terutama dalam menyombongkan harta yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fathurrohman. 2013. Hukum Eonomi islam: Sejarah, Teori, dan Konsep. Jakarta: Paragonatama Jaya.

Adam, Panji. 2018. Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah. Jakarta: Bumi Aksara.

Zini, Fudoli. 2002. Berbisnis Dengan Allah. Surabaya: Pustaka Progessif.

Idris, Haji. 2015. Hadist Ekonomi: Ekonomi dalam Prespektif  Hadist Nabi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Saefuddin M, Ahmad. 1987. Ekonomi dan Msyarakat dalam Prespektif  Islam. Jakarta: CV. Rajawali.

Ruqaiyah Waris, Masqood. 2002. Harta dalam Islam. Jakarta. Lintas Pustaka.



[1] Fathurrohman Djamil.  Hukum Ekonomi Islam: Sajarah, Teori dan Konsep. (Jakarta: Paragonatama Jaya. 2013 M.), hlm 173.

[2] Fathurrohman Djamil.  Hukum Ekonomi Islam: Sajarah, Teori dan Konsep. (Jakarta: Paragonatama Jaya. 2013 M.), hlm 176

 

[3]  Fathurrohman Djamil.  Hukum Ekonomi Islam: Sajarah, Teori dan Konsep. (Jakarta: Paragonatama Jaya. 2013 M.), hlm 181.

[4]Abd. Allah Zaki al-Kaf, Ekonomi dalam Prespektif Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002 M.), hlm 19.

[5] Taqi’ al-Din al-Nabhani al-Husyni, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999 M.), hlm 47.

[6] Pau A. Samuelson, Economics, (New York: McGraw-Hill Book Co., 1983 M.), hlm. 3.

[7] Fathurrohman Djamil.  Hukum Ekonomi Islam: Sajarah, Teori dan Konsep. (Jakarta: Paragonatama Jaya. 2013 M.), hlm 15.

No comments:

Post a Comment