Wednesday, October 21, 2020

PENGERTIAN ONTOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN BARAT

 

PENGERTIAN ONTOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN BARAT


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

 

Untuk berbicara tentang ontologi pendidikan Islam. Kita terlebih dahulu harus memahami apa itu ontologi? dan apa itu pendidikan Islam? Berbicara tentang ontologi tentu kita tidak akan bisa melepaskan diri dari kajian filsafat hal ini lebih kepada adanya keterkaitan istilah ontologi dengan filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenaran. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaah keilmuaannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang yang ada universal, menampilkan pemikiraan semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus, ontologi menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

 

B.    Rumusan Masalah

1.         Pengertian Ontologi ?

2.         Apa saja aspek Ontologi Ilmu dalam Islam ?

3.         Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat ?  

 

C.   Tujuan

1.         Untuk mengetahui Pengertian Ontologi

2.         Untuk Mengetahui Aspek Ontologi dalam Islam

3.         Untuk Mengetahui Perbedaan Ontologi ilmu dalam Islam dan Barat

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian Ontologi

Ontologi berasal dari kata Onto yang berarti atas, dan logie yang berarti ilmu; Ontologi berarti atas ilmu. Adapun Ontologi dalam pengertian istilah diartikan sebagai hakikat apa yang dikaji. Jika yang dikaji itu alam jagat raya, maka ontologi tidak hanya membahasnya dari segi yang tampak, tetapi segi-segi yang tidak tampak, atau hakikatnya, hukum-hukum, isi, substansi, sifat, hikmah, kandungan, keistimewaan, kekurangan, dan kelebihan yang terdapat didalamnya. Sebagai sumber, ontologi harus menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan guna menyusun ilmu pengetahuan. Gunung misalnya disebut sumber daya alam (SDA) karena di gunung terdapat bahan-bahan bangunan, seperti: batu, pasir, kapur, semen, tembaga, perunggu, besi, platina, kayu, dan rotan.[1]

Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang ditinjau ulang. Dalam ilmu pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu pengatahuan bertugas menjawab pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi berarti berbicara tentang jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Louis O. Kattsoff menjelaskan tiga perspektif ontologi, yakni: naturalisme, materialisme, dan idealisme. Pertama, naturalisme. Paham ini memandang kejadian sebagai kategori pokok, artinya kejadian dipandang equivalent atau sama dengan kenyataan. Naturalisme sangat bergantung pada data yang terdapat dalam ruang dan waktu yang dapat dicermati melalui panca indra manusia. Pengembaraan yang mungkin dilakukan oleh akal di batasi oleh keterbatasan bekerjanya panca indra. Hal ini sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa data harus dapat diverivikasi secara empiris.

Kedua, Materialisme. Materialisme melihat bahwa yang terdalam adalah materi; kenyataan bersifat material. Kenyataan dalam pandangan materialisme adalah (1)“segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata dalam babak akhir berasal dari materi atau (2) berasal dari gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi.”

Menurut Kattsoff, naturalisme dan materialisme berpandangan bahwa pengertian materi hendaknya dibicarakan dalam bidang ilmu fisika dan tidak di ontologi keduanya mendasarkan diri pada hasil-hasil ilmu sebagai penopang dan menjunjung tinggi metode-metode ilmiah.

Ketiga, idealisme. Kattsoff mengilustrasikan bahwa “jika seseorang melakukan penelitian ia akan menyadari bahwa ia memahami pengalaman sebagai pengalaman yang dipunyai oleh jiwa; adanya nilai berarti ada suatu jiwa atau roh yang dapat memahaminya, jiwa dapat menangkap makna.”

Idealisme terdiri spiritualis dan dualis. Spiritualis adalah “segenap tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya.” Dualis adalah “yang terdalam ialah jiwa semesta, tetapi mereka pun menyatakan pendapat umum bahwa alam merupakan tatanan yang terdiri dari tingkat-tingkat yang berbeda-beda.”[2]

B.    Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

 

Secara garis besar aspek ontologi dalam islam ada tiga, yaitu Allah, Alam, dan Hari Pertemuan. Allah, dialah yang menciptakan alam dan akan mengadakan hari pertmenuan tersebut. Alam adalah segenap makhluk yang telah diciptkannya; alam merupakan kalam-Nya dan ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis.sedangkan hari pertemuan merupakan hari dimana manusia dimintai pertanggung jawaban atas semua perbuatan dan amanah yang telah diperbuatnya.

 

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di dalam kehidupannya.

Orang-orang yang beriman sekali pun ia telah beriman sejak lahir, karena dilahirkan ditengah orang tuanya yang mukmin, tetap wajib untuk mendalami ontologi islam. Sebab untuk melahirkan mukmin yang militant tidak bisa tanpa pengetahuan yang benar dan mendalam tentang Allah, kehidupan dan hari pertemuan ini.  Dengan demikian, aspek ontologi islam harus menjadi sentral pembahasan dalam ilmu-ilmu dan pelajaran-pelajaran yang diselenggarakan ditengah masyarakat islam baik ditengah keluarga, sekolah dan masyarakat itu sendiri.[3]

 

C.   Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat

Karena berasal dari akar sejarah, budaya, dan agama yang berbeda, Islam dan Barat memiliki kerangka worldview yang juga berbeda terhadap sumber ilmu. Kalangan Intelektual menyebutnya epistemologi ilmu, yaitu pembahasan mengenai cara mendapat ilmu, sumber­-sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-­hal lain.[4]

 

A.       Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Islam. keilmuwan Islam lebih banyak berpijak pada al-Qur’an. Untuk melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan epistemologi.

Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an.  Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.[5]

Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya, ada tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).

Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang mutawatir) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.

B.       Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Barat

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Barat, ilmu bersifat evolutif. Hal itu disebabkan epistemologi keilmuwannya dibangun di atas tiga aliran filsafat yang bantah-membantah, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.

Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas: Pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman.

Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini  berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris.

Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.

Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanyaterbatas pada akal ( rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitik beratkan pada dua kompenen ini sehingga hasilnya makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafika dan tidak masukkannya ke dalam definisi ilmu. Akibatnya, ilmu pegetahuan dan niilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.[6]

Bagi pandangan keilmuwan Barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional, dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya.

 

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Ontologi adalah Salah satu cabang dari filsafat Ilmu yang membahas tentang sumber ilmu pengetahuan. Yaitu segala sesuatu yang dijadikan tempat pengambilan bahan-bahan dimana suatu ilmu dirumuskan. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang ditinjau ulang. Dalam ilmu pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu pengatahuan bertugas menjawab pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi berarti berbicara tentang jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di dalam kehidupannya.

 

Disinilah letak perbedaan antara konsep islam dan barat dalam menyikapi objek ilmu. Bagi islam objek ilmu itu meliputi alam fisik dan metafisik. Sedangkan barat hanya mengakui terbatas pada alam fisik saja.

 

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, 2018. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prenadamedia Group

Hakim, Sudarnoto Abdul, Kusmana, El-Mahsyar, dkk. 2006. Integrasi Keilmuan. UIN Syarif Hidayatullah : UIN Jakarta Press

Armas, Adnin, 2007. Konsep Ilmu dalam Islam. Depok

 

Mubarok, Ainul, 2007. Sumber-Sumber Ilmu, IAIN

 

https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_PERSPEKTIF_ISLAM_Makalah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata

 



[1] Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hal, 124

[2] Sudarnoto, Abdul Hakim, Kusmana, Masyri, El-Mahsyar, Integrasi Keilmuan, ( UIN Syarif Hidayatullah: UIN Jakarta Press, 2006) hal 67-69

[3]https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_PERSPEKTIF_ISLAM_Makalah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata

[4] Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, Makalah, Depok, 2007, hal. 1

[5] Ainul Mubarok, Sumber-Sumber Ilmu, 2007 hal. 57

[6] Al-Attas dalam Adnin Armas, hal. 7

No comments:

Post a Comment