Monday, October 19, 2020

METODOLOGI PENGEMBANGAN KELIMUAN (EPISTEMOLOGI II) DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT: EXPLANATION (BAYANI) DAN INTUISI (IRFANI)

 

Metodologi Pengembangan Kelimuan (Epistemologi II) dalam Perspektif Islam dan Barat: Explanation (Bayani) dan Intuisi (Irfani)


KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

          Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tiada henti hentinya memberikan berbagai nikmat dan rahmat-Nya, memberikan kasih serta sayang-Nya kepada kita dari segala ke-Mahaan-Nya. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah berjasa membawa kita ke jalan yang selalu di Ridhoi Allah SWT.

          Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan dengan tema Metodologi Pengembangan Kelimuan (Epistemologi II) dalam Perspektif Islam dan Barat: Explanation (Bayani) dan Intuisi (Irfani). Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan saran atas penyusunan makalah ini:

1.   Ahmad Irfan Mufid S.Ag., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan

2.   Semua rekan sekelas Jurusan Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

    

     Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

.... Sawangan, 4 November 2019

 

     Penyusun

 

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................... iii

BAB I.................................................................................................................................................. 1

A.    Latar Belakang....................................................................................................................... 1

B.    Rumusan Masalah.................................................................................................................. 1

BAB II................................................................................................................................................ 2

A.    Pengertian Epistemologi....................................................................................................... 2

B.    Pentingnya Epistemologi...................................................................................................... 3

C.    Bayani..................................................................................................................................... 4

D.    Irfani........................................................................................................................................ 5

E.     Perbedaan Epitemologi Islam dan Barat............................................................................. 7

BAB III............................................................................................................................................ 10

A.    Kesimpulan.......................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 11

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan. Epistemologi sebagai induk dan menjangkau segala permasalahan-permasalahan ilmu pengetahuan. Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran dari sesuatu.

Epistemologi bermaksud menjelaskan hakikat dasar pengetahuan yang ada di muka bumi, dengan epistemologi inilah manusia dapat berpikir tentang keadaan alam semesta sesuai dengan kaidahnya masing-masing. Epistemologi Islam salah satunya mengajarkan berpikir secara luas tapi tetap memperhatikan Al-Quran dan Hadis.

Metode berpikir dalam epitemologi ada empat macam, yakni Bayani, Irfani, Burhani, dan Jadali. Bayani menjelaskan tentang melihat teks didampingi oleh penggunaan rasional, Irfani dengan menggunakan batiniah, Burhani dengan menggunakan panca indra atau akal, sedangkan Jadali menggunakan metode dialogis. Keempat metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tapi terlepas dari hal tersebut semua metode dapat digunakan dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

 

B.    Rumusan Masalah

1.      Apa definisi epistemologi?

2.      Apa pentingnya mempelajari epistemologi?

3.      Apa yang dimaksud dengan Bayani?

4.      Apa yang dimaksud dengan Irfani?

5.      Apa perbedaan Epistemologi Islam dan Barat?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Epistemologi

Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Istilah epistemologi  sendiri berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani berasal dari kata epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka secara harfiah episteme berati pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.[1]

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan mana yang keliru. Epistemologi adalah ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat dapat dibenarkan dan dijamin kebenarannya. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[2]

Sedangkan menurut istilah ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah. Epistemologi Islam secara terminologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan, cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan pemikiran Islam.[3]

Secara tegas di dalam Al-Qur’an mengajak keturunan Nabi Adam a.s. pada pengetahuan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan alam semesta sesuai dengan firman-Nya.

قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".  (QS. Yunus:101)

 

B.    Pentingnya Epistemologi

Menurut Richard Rorty, epistemologi modern yang mulai dengan upaya Descartes menjamin kepatian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri, kajiannya tentang cara kerja pikiran dalam proses mengetahui. Menurut Rorty seluruh gagasan tentang epistemologi sebagai upaya rasional untuk membangun fondasi atau dasar-dasar pengetahuan yang merupakan produk pilihan melihat atau cermin untuk kegiatan mengetahui.

Studi epistemologi juga perlu untuk melihat bagaimana perkembangan sejarah kebudayaan dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan contohnya pada zaman renaisans dan munculnya humanisme ditandai oleh muncul dan berkembangnya sains. Berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Penidikan sebagai usaha dasar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk membantu peserta didik mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya tidak hanya terbatas pada pengembangan kemampuan intelektualnya. Pendidikan juga perlu mengembangkan peserta didik menuju kematangan spiritual, moral, emosional dan sosialnya. Pendidikan berperan mengajarkan pengetahuan tentang alam dunia,  tentang Tuhan, dan asal dan tujuan segenap ciptaan.[4]

 

C.    Bayani (Explanation)

Dimaksudkan dengan nalar bayani adalah pencarian kebenaran yang bersumber pada otoritas teks semata dengan metode ijtihadiyah atau qiyas, memanfaatkan pendekatan bahasa dan kerangka pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks.[5]

Menurut Abid Jabiri bayani, yaitu tradisi berpikir yang mendasarkan diri pada teks atau nashsh (tekstual). Tradisi berpikir bayani mendasarkan diri secara ketat kepada teks, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Upaya mencari pengetahuan atau kebenaran dalam bayani bergerak dari teks ke teks. Metode bayani dikembangkan oleh para ahli hukum Islam dan para teolog muslim.

Secara leksikal etimologis, termbayan mengandung lima arti yaitu: (1) al waslu (sampai, berkesinambungan); (2) al fasl (terputus, keterpilahan); (3) al zuhur wa al wuduh (jelas dan terang); (4) al falsahah wa al qudrah’ ala al tabligh wa al iqna’ (sehat dan mampu menyampaikan dan menenangkan); (5) al ihsan hayawan al mubin (manusia hewan berlogika).

Bayani adalah suatu epistemologi yang mencakup disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (nahwu, fiqih dan ushul fiqih, kalam dan balaghah). Epistemologi ini dapat dipahami dalam 3 aspek yaitu aspek aktivitas pengetahuan, diskursus pengetahuan dan aspek sistem pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan bayani berarti menampakkan dan paham memahamkan. Sebagai diskursus pengetahuan bayani berarti dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu Arab Islam murni, yaitu ilmu bahasa dan agama. Sementara itu sebagai sistem pengetahuan bayani berarti kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan terbentuk tanpa disadari.

Menurut Al-Syafii epistemologi bayani terdapat dua dimensi yang fundamental, yakni ushul (prinsip-prinsip primer) yang darinya muncul prinsip sekunder dan aturan-aturan penafsiran wacana. Kemudian Al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani yang tidak terbatas pada memahami sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Syafii, tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca paham akan wacana.[6]

 

Tradisi berpikir bayani lebih dominan secara politik, bahkan menjadi semacam mainstream dalam pemikiran ke-Islaman. Metode berpikir bayani juga lebih diunggulkan dibanding otoritas keilmuan yang lain. Akan tetapi tradisi berpikir bayani juga memiliki kelemahan yaitu metode berpikir bayani bersifat normatif tekstualitik, karena bayani bertolak dari teks dan mendasarkan pemikirannya hanya pada teks. Akibatnya metode berpikir bayani dinilai kurang peka terhadap isu-isu keagamaan yang berkembang dalam masyarakat. Metode bayani kurang memaksimalkan penggunaan akal, akal hanya diperankan sebagai penguat untuk mengokohkan kebenaran teks. Bahkan dalam pola pikir bayani ada kecenderungan curiga pada akal, karena akal dianggap akan menjauhkan dari kebenaran teks. Oleh sebab itu akal dicukupkan fungsinya sebagai pengekang dan pengendali hawa nafsu. Metode berpikir bayani bersifat rigid dan cenderung eksklusif apabila berhadapan dengan tradisi keagamaan, budaya, komunitas-komunitas lain di luar Islam. Pendukung pola pikir bayani cenderung dokmatis, devensif, apologis, polemis.[7]

Epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas.

1.      Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran

2.      Al-Far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurma. Arak tersebut diqiyaskan ke dalam jenis khamr. Hukumnya haram karena bersifat memabukkan.[8]

 

D.    Irfani (Intuisi)

Kata irfan (gnosis) merupakan bentuk dari kata ‘arafa yang artinya “pengetahuan”, ‘ilm dan hikmah. Kemudian kata ini lebih dikenal sebagai terminologi mistik dengan kata ma’rifah dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasawuf, rahasia-rahasia dari Tuhan. Model metodologi irfani merupakan model berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atau realitas spritiual keagamaan.berbeda dengan bayani sebagai pengetahuan eksoteris atau yang diperoleh dari indra dan intelek, maka irfani adalah pengetahuan esoteris yaitu pengetahuan dari qalb (batin).

Irfani berkaitan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmunya menunjukan pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi naql atau rasionalitas. Secara terminologi, irfani biasa diartikan dengan pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya.

Menurut kalangan irfaniyun (para penganut nalar gnostik atau irfani), pengetahuan tentang Tuhan atau hakikat Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris rasional, tetapi dapat diketahui melalui pengalaman langsung (mubasyarah). Untuk mampu berhubungan langsung dengan Tuhan, seseorang harus mampu melepaskan diri dari segala ikatan dengan alam yang menghalanginya.[9] Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepdikan atau masuk kedalam pikiran sebelum dikemukakankepada orang lain.[10]

Dikatakan, ketika manusia melihat dan menyaksikan keindahan alam,  maka hati dan batinnya akan bergetar, dan seketika itu, ia sudah tahu dan mengerti akan adanya San Pencipta atau Tuhan. Jadi dalam perspektif ini manusia tidak perlu menunggu teks keagamaan. Pengalaman batinnya yang terdalam sudah menangkapnya.

Konon metode irfani sudah dikenal dalam tradisi pemikiran Yunani dan Persia jauh sebelum datangnya agama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Dalam ajaran Islam metode ini dikenal dengan “Ilm al-Khuduri”I, karena jenis pengetahuan ini datang sendiri secara langsung. Namun dalam pandangan Barat dinamakan “Pre-Logical Knowledge”, karena tidak terikat oleh premis-premis logika. Pengetahuan irfani  diperoleh setidaknya melalui tiga cara, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.

Berbeda dengan bayani, metode berfikir irfani tidak memiliki kedudukan yang kuat di kalangan kaum Muslim, bahkan cenderung mendapat kecaman atau olok-olok baik dari pendukung bayani atau burhani. Metode berfikir irfani punya bebrapa kelemahan sebagai berikut.

1.      Metode irfani dianggap terlalu liberal karena tidak memiliki pedoman yang jelas pada teks.

2.      Kenyataan bahwa qalb (kalbu), dhamir (hati), dan ilham (intuisi) telah bercampur dengan tarekat, wirid, serta ungakapan-ungkapan ganjil para sufi. Umat Muslim pun kurang memahami metode berfikir irfani.

Meskipun metode ini ada kelemahan, namun sebenarnya irfani juga memiliki keunggulannya sendiri. Diantaranya, metode irfani menekankan pemahaman dan pengertian terhadap pemikiran dan pemahaman pihak lain, sehingga menimbulkan hubungan baik antara kelompok-kelompok yang berbeda. [11]

 

E.    Perbedaan Epistemologi Islam dan Barat

Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat, bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun non-fisik atau metafisis. Dalam bukunya Ihsha’ Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi  memasukkan ke dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani, mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti konsep-konsep mental dan metafisika.[12]

Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil daripada objek-objek indra.

Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Akal dalam menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.

Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena berdampak pada rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ

“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami telah datangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling dari peringatan itu”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).

Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan keduanya memang jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) berada pada posisi prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan aktivitas rasio.[13]

Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.

Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisisme) untuk kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk memanfaatkan potensi yang ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman Allah:

وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَآأَنزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِن رِّزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ ءَايَاتٌ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah dari langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah matinya, dan pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Epistemologi menurut istilah ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah. Secara terminologi epistemologi Islam merupakan cabang filsafat yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan pemikiran Islam.

Epistemologi Bayani dimaksudkan untuk pencarian kebenaran yang bersumber pada otoritas teks semata dengan metode ijtihadiyah atau qiyas, memanfaatkan pendekatan bahasa dan kerangka pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks. Epitemologi Irfani merupakan model berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atau realitas spritiual keagamaan.berbeda dengan bayani sebagai pengetahuan eksoteris atau yang diperoleh dari indra dan intelek, maka irfani adalah pengetahuan esoteris yaitu pengetahuan dari qalb (batin).

Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu dan memandang objek secara keseluruhan. Epistemologi Barat menganggap yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris sedangkan epistemologi Islam memandang terdapat objek indrawi maupun metafisik dan mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Pranarka, Bdk. A. M. W., Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuat Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Press, 2014

M., Amril, Epistemologi Intregatif-Interkonektif Agama dan Sains, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016

Susanto, Edi., Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016

Ismail, A. Ilyas, True Islam: Moral, Intelektual, Spiritual, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013

al-jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah), 1992

Makiah, Zulpa, Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani Dalam Memperoleh pengetahuan Tentang Maslahah, (Banjarmasin:IAIN Antasari)

Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2002)

Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia



[1] Bdk. A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hlm. 3-5.

[2] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 18-19.

[3] Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuat Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm. 134.

[4] J. Sudarminta, Ibid., hlm. 26-29.

[5] Prof. Dr. Amril M, M.A., Epistemologi Intregatif-Interkonektif Agama dan Sains, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hlm. 19.

[6] Dr. Edi Susanto, M.Fil. I., Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hlm. 112-115.

[7] DR. A. Ilyas Ismail, M.A., True Islam: Moral, Intelektual, Spiritual, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013, hl. 139-141.

[8] Muhammad Abid al-jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992, hlm. 146-147.

[9] Dr. Edi Susanto, M.Fil.I. ibid, hlm.116-117

[10] Zulpa Makiah, Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani Dalam Memperoleh pengetahuan Tentang Maslahah, (Banjarmasin:IAIN Antasari), hlm. 13.

[11] Dr. A. Ilyas Ismail, M.A. ibid hlm. 141-143.

[12] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2002), hlm. 58.

[13] Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 55-56.

2 comments: