Tuesday, October 27, 2020

HAKIKAT MANUSIA MENURUT AL-QURAN, HADITS DAN SUFI

 

HAKIKAT MANUSIA MENURUT AL-QURAN, HADITS DAN SUFI

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Faktor pendidikan berperan penting dalam menentukan perkembangan manusia hal ini mengacu kepada istilah-istilah baku tentang konsep manusia. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini belum ada yang sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya.

Allah telah membekali manusia dengan kemampuan untuk belajar dan mengetahui. Seperti yang telah dijelaskan dalam surah Al-‘Alaq yang isinya “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, pendidikan adalah bagian dari kebutuhan manusia. Manusia membutuhkan pendidikan, dalam kaitan dengan pengembangan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian pentingnya fungsi dan peran pendidikan ini, sampai-sampai Islam menempatkan pendididkan sebagai bagian dari kewajiban agama.

 

B.     Rumusan Masalah

a.      Apa yang dimaksud dengan hakikat manusia?

b.     Bagaimana hakikat ruh menurut Al-Qur’an, Hadis dan Sufi?

c.      Apa yang dimaksud dengan daya daya ruhani ?

 

C.   Tujuan Penelitian

a.      Menganalisis Hakikat Manusia

b.     Menganalilsis Hakikat Ruh Menurut Al Quran, Hadis dan Sufi

c.      Menganalisis daya daya Ruhani

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Hakikat Manusia

 

          Hakikat dapat diartikan sebagai ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan makna yang sebenarnya atau makna yang paling dasar dari sesuatu. Sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang selalu berkembang dengan pengaruh  lingkungan sekitarnya karena manusia memiliki potensi pokok yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani. Beragam pendapat yang dikemukakan seputar hakikat manusia. Pendapat tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing.

Menurut Al-Ghazali dalam Jaelani, Manusia itu tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah di bumi. Namun manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Sebab jiwa merupakan pokok dari agama,asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tempat bergantung ketaatan dan kedurhakaan manusia kepada Allah.[1]

 Menurut Al-Syaibani yang mengatakan bahwa manusia itu  terdiri atas tiga unsur yang sama pentingnya, yaitu jasmani, akal, dan ruhani.  Berdasarkan pandangannya tersebut, pendidikan menurutnya harus mampu  mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia secara seimbang dan  terintegrasi.

Menurut Ahmad Tafsir (2006:24) inti manusia terletak pada ruhani atau  imannya, karena iman adalah  sesuatu world view, maka manusia dikendalikan oleh imannya. Jadi, inti manusia  adalah imannya, karena iman itu di kalbu, maka dapat juga kita mengatakan inti  manusia di kalbunya. Kalau begitu kalbu itulah yang menjadi sasaran pendidikan  untuk diisi dengan iman.[2]

         

 

      Namun, konsep yang digunakan untuk menggambarkan sosok manusia secara utuh belum terpenuhi. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang diketahui hanyalah manusia yanng terdiri dari bagian tertentu dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri.

          Kajian dan telaah keilmuan tentang manusia ternyata masih “ganjal” oleh kemampuan rasio atau akal manusia. Konsep dan teori yang dihasilkan sudah cukup banyak, namun belum satupun yang mengarah kepada pengakuan terhadap eksistensi sebagai makhluk ciptaan. Beda dengan pendekatan filsafat pendidikan Islam yang meletakkan manusia pada statusnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Pendidikan Islam terkait dengan peningkatan potensi manusia agar ia mampu memenuhi hakikat penciptaanya, yakni sebagai pengabdi Allah. Sementara filsafat memuat pemikiran-pemikiran yang mendasar mengenai kerangka yang terkait dengan upaya yang dimaksud.

          Jadi aktivitas pendidikaan mengacu kepada proses, sedangkan filsafat pendidikan Islam menjadi landasan dasar dari rancangan proses tadi. Hubungan antara filsafat pendidikan Islam dengan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan sama sekali. Kajian filsafat pendidikan Islam harus merujuk kembali kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hakikat manusia tak mungkin dijelaskan secara tuntas oleh  pemikiran filsafat yang hamya mengandalkan kemampuan optimal rasio. Satu-satunya jalan yang paling menyakinkan adalah dengan merujuk ke sumber dari Sang Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah. Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai konsep manusia dengan menggunakan sebutan: Abd Allah, Bani Adam, Bani Basyr, Al-Insan, Al-Ins, Al-Nas, dan Khilafah Allah.

B.      Hakikat Ruh menurut AlQur’an, Hadist, dan Sufi

Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”kan ruh-Nya kedalam jiwa dan jasad manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut ini :

 

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}

 

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan  telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud,”.

(QS. Al-Hijr : 29)

 

Berdasarkan ayat di atas, kata ruh dihubungkan dengan Allah. Istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan itu juga beragam, seperti al-ruh min huruhina, ruhihi, al-ruhiy, ruh min amri rabbi. Selanjutnya, ruh itu diciptakan kepada manusia melalui proses al-nafakh. Berbeda dengan al-nafs, sebab nafs telah ada sejak nutfah dalam proses konsepsi, sedangkan ruh baru diciptakan setelah nutfah mencapai kondisi istimewa. Karena itu merupakan dimensi jiwa yang khusus bagi manusia.

Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan hakikat penciptaan ruh. Seperti dalam surat As-Sajdah yang berbunyi :

 

ثمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ  ۦۖ  وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمعَ وَٱلأَبصَٰرَ وَٱلأَفَئدةَ قَلِيلا مَّا تَشكُرُونَ

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.(QS.As-Sajdah [32]: 9)

 

Ibnu Katsir dan Al Maraghi menyatakan bahwa ruh itu diciptakan pada hakikatnya sebelum ada nya jasad, namun baru dimasukkan dengan ditiupkan kedalam tubuh setelah tercipta jasad, seperti yang terjadi pada Nabi Isa dan manusia lainnya.

Menurut penafsiran Al Misbah, kata ( من رو حه )min ruhihi secara harfiah berarti dari ruh-Nya, yakni Ruh Allah. Ini bukan berarti ada “bagian” ilahi yang dianugrahkan kepada manusia. Karena Allah tidak terbagi, tidak juga terdiri dari unsur-unsur. Dia adalah shamad tidak terbagi dan tidak berbilang. Yang di maksud adalah ruh ciptaan-Nya. Penisbatan ruh itu kepada Allah adalah penisbahan pemuliaan dan penghormatan. Ayat ini bagaikan berkata :Dia meniupkan kedalamnya ruh yang mulia dan terhormat dari (ciptaan-Nya).

Dalam hadits,terdapat petunjuk proses diciptakan-nya manusia yang salah satu proses-nya menyebutkan bahwa manusia ditiupkan ruh. Hadits itu berbunyi :

 

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قاَلَ ;حَدَّثَناَ رَسُوْلُ اللّهِ .صلم. وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ ; إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّه أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ،  ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِماَتٍ ; رِزْقِه ، وَأَجَلِه ، وَعَمَلِه ، وَهَلْ هُوَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ - الحديث رواه أحمد -

 

“ Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata : Telah bersabda kepada kami Rasulullah SAW – Beliau  adalah orang  yang  jujur dan terpercaya; “Sesungguhnya seorang diantara kamu (setiapkamu) benar-benar diproses kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud air mani; kemudian berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal darah; lantas berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal daging; kemudian malaikat dikirim kepadanya untuk meniupkan roh kedalamnya; lantas (sang janin) itu ditetapkan dalam 4 ketentuan : 1. Ditentukan (kadar) rizkinya, 2. Ditentukan batas umurnya, 3. Ditentukan amal perbuatannya, 4. Ditentukan apakah ia tergolong orang celaka ataukah orang yang beruntung“ (HR Ahmad).

Para ulama bersepakat bahwa ruh ditiupkan ke dalam janin setelah janin berumur 120 hari terhitung dari mulai terjadinya pembuahan. Yaitu ketika usia kehamilan sudah 4 bulan dan memasuki bulan yang kelima.

Semua itu benar berdasarkan kenyataan yang dapat disaksikan, maka semenjak itu ditetapkan hukum-hukum untuk memenuhi kebutuhannya seperti hukum tentang penyandaran nasab nya dan kewajiban pemberian nafkah. Dan hal itu diyakinkan dengan bergeraknya janin dalam rahim. Inilah hikmah mengapa istri yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.

 Alasannya ialah untuk meyakinkan bahwa rahimnya benar-benar kosong dari janin tanpa ada sedikit pun tanda-tanda kehamilan. Ruh, yang membuat manusia hidup, adalah urusan Allah sebagaimana firman-Nya,

 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra: 85)

Dalam syarah Muslim karangan Imam Nawawi disebutkan bahwa ruh adalah jasad halus yang mengalir dalam badan dan merambat di dalamnya sebagaimana merambatnya air didalam batang pohon yang hidup. Dalam kitab Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali berkata, “ruh adalah unsur yang berdiri sendiri yang bekerja di dalam badan.”

Al-Qur`an juga menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah. Fitrah ialah  potensi (pola dasar). Fitrah karena merupakan pola dasar (atau sifat-sifat ashli)  maka fitrah itu baru akan memiliki arti bagi kehidupan manusia setelah ditumbuh  kembangkan secara optimal. Fithrah manusia meliputi tiga dimensi, yaitu:

1.     Fitrah Jasmani.

Fitrah ini merupakan aspek biologis yang  dipersiapkan sebagai wadah dari fitrah ruhani. Ia memiliki arti bagi kehidupan  manusia untuk mengembangkan proses biologisnya. Daya ini disebut dengan daya  hidup. Daya hidup kendatipun sifatnya abstrak tetapi ia belum mampu menggerakan  tingkah laku. Tingkah laku baru terwujud jika fitrah jasmani ini telah ditempati  fitrah ruhani. Proses ini terjadi pada manusia ketika berusia empat bulan dalam  kandungan (pada saat yang sama berkembang fithrah nafs). Oleh karena natur fithrah jasmani inilah maka ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.

2.     Fitrah Ruhani.

Fithrah ini merupakan aspek psikis manusia. Aspek  ini tercipta dari alam amar Allah yang sifatnya Gaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi dan esensi pribadi manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam materi,  tetapi juga di alam materi (Setelah bergabung dengan jasmani), sehingga ia lebih  dahulu dan lebih abadi adanya dari pada fithrah jasmani. Naturnya suci dan  mengejar pada dimensi-dimensi spiritual tanpa memperdulikan dimensi material. Ia  mampu bereksistensi meskipun tempatnya di dunia abstrak, selanjutnya akan  menjadi tingkah laku aktual jika fithrah ini menyatu dengan fihtrah jasmani.

3.     Fitrah Nafs.

Fitrah ini merupakan aspek psiko-fisik manusia. Aspek  ini merupakan panduan integral (totalitas manusia) antara fithrah jasmani (biologis)  dengan fithrah ruhani (psikologis), sehingga dinamakan psikofisik. Ia memiliki tiga  komponen pokok, yaitu kalbu, akal dan nafsu yang saling berinteraksi dan mewujud  dalam bentuk kepribadian. Hanya saja, ada salah satu yang lebih dominan dari  ketidanya. Fithrah ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan  perjanjian Allah kepada manusia di alam arwah. Itulah dimensi-dimensi fitrah manusia sebagaimana yang diungkapkan  zayadi (2004: 50-51) dan Abdul Majid (1999: 36-69). Yang jelas semua fithrah  tersebut bersifat potensial dan perlu ada upaya-upaya tertentu untuk  mengaktualisasikannya. Di dalam kehidupan manusia upaya untuk  mengaktualisasikan ini disebut sebagai pendidikan. Dengan demikian salah satu  fungsi pendidikan adalah mengaktualisasikan fithrah manusia sesuai dengan  kehendak Sang Pencipta. Dan hal ini tidak akan terwujud kecuali ada upaya aktif dari individu yang bersangkutan dengan bantuan sesamanya dan lingkungan tempat 

ia tinggal. Karena manusia adalah makhluk yang responsif.

 

C.     Daya - daya Ruhani

Daya daya ruhani atau unsur ruhani yaitu an-Nafs, al-‘Aql,  al-Qalb, dan al-sirr.

 

A.   An Nafs

Secara terminologi, an Nafs mempunyai dua pengertian : pertama, nafas atau nyawa. Kedua, makna diri atau hakikat dirinya. Dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs yaitu nafs aqliyah yang bisa membedakan sesuatu dan nafs ruhiyah yang menjadi unsur kehidupan. Secara umum dapat diartikan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan Al Qur’an tentang manusia merujuk pada sisi pada diri manusia yang mempunyai potensi baik dan (taqwa) dan posisi buruk (fujur). Namun potensi kebaikan lebih kuat dari potensi keburukan pada nafs. Al quran terah menginformasikan kepada an nafs telah diilhamkan jalan keabikan (taqwaaha) dan keburukan (fujuraha) sebagaimana dalam surat as Syams [91]: 7-8. Oleh karena itu, maka manusia senantiasa dituntut menjaga kesucian nafsnya dan jangan sekali kali mengotorinya.

Nafs mempunyai beberapa tingkatan sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni an-nafs al-ammarah (Q.S Yusuf:53), an nafs al-lawwamah (Q.S. Al Qiyamah:2) dan an nafs al muthmainnah (al fajr:28). An nafs al ammarah adalah nafsu biologis yang mendorong manusia untuk melakukan pemuasan kebutuhan biologisnya. Dari pemahaman tersebut, maka an nafs ammarah dapat dimengerti sebagai hawa nafsu yang populer dalam bahasa indonesia. Ketiga nafsu ini menunjukkan tingkatan perkembangan jiwa manusia. Pada tahap pertama (an nafs ammarah) manusia berada pada taraf dotongan fisik biologis ketika manusia cenderung untuk hanyut dalam naluri rendahnya.

Pada tahap kedua, manusia sudah menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Tuhan, disini telah terjadi apa yang disebut “kebangkitan” ruhiyah dalam diri manusia. Jadi pada an nafs lawwamah manusia sudah mengalami kesadaran diri, belum sampai pada aksi yang konsisten dan berlanjut.

Nafs pada tingkatan ketiga adalah an nafs al muthmainnah. Istilah al muthmainnah berasal dari kata tamanna yang berarti tentram ketika kata tamanna dengan berbagai bentuknya dihubungkan dengan kata qalb atau nafs, maka maknanya adalah jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat. Pengertian ini mirip dengan pengertian dalam tasawuf yaitu jiwa yang tenang. Ia menjadi tenang karena beristirahat dalam keyakinan kepada Allah.

 

B.     Al A’ql

     Al ‘Aql adalah instrument jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. dengannya manusia dapat menemukan, mengembangkan dan mengkonstruksi bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan akal manusia mampu mengendalikan dorongan hawa nafsunya. Al ‘Aql dalam pengertian itu bukanlah otak sebagai salah satu organ tubuh, tetapi sebagai kekuatan daya pikir dalam jiwa manusia yang dapat memeperoleh ilmu pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Oleh karena itu, Aql merupakan potensi gaib yang tidak dimiliki makhluk lain walaupun makhluk tersebut memiliki otak. Jadi kehebatan aql adalah mampu memahami diri sendiri dan lingkungannya serta mampu melawan hawa nafsunya.

 

C. Al Qalb

Secara etimologis, kata qalb adalah bentuk masdar dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik. Sedangkan kata qalb itu sendiri berarti hati atau jantung. Kata qalb memiliki dua makna yang bersifat fisik dan psikis. Secara fisik, apa yang kita kenal sebagai jantung itu disebut qalb karena secara fisik keadaanya terus menerus berdetak dan bolak ballik memompa darah dalam tubuh. Namun dalam pengertianya secara psikis qalb merupakan suatu keadaan batin yang selalu bolak balik dalam menentukan suatu ketetapan antara senang dan sedih, suka  dan benci, dan sebagainya.

Qalb dalam perspektif kesehatan mental Islam (Al Qur’an) potensial terkena penyakit sebagamana diisyaratkan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 10 ‘Di dalam hati mereka ada penyakit’. Ada beberapa gejala gangguan atau penyakit mental yang bersumber dari qalb yang tidak sehat, di dalam Al Qur’an secara jelas seperti :keluh kesah (Al Ma’arij:19), zalim dan ingkar (Ibrahim : 34), keras kepala (Al Kahfi : 54) suka melampaui batas (Al Alaq : 6-7) , suka berbuat buruk (al Qiyamah:5), tergesa gesa (Al Isra :11) dan sebagainya.

Kondisi tersebut jika tidak disembuhkan dengan sempurna maka akan berakibat :

a.      Menjadi watak yang buruk, merusak batin dan mengganggu kebahagiaan.

b.     Merusak dan merintangi pribadi memperoleh keridhoan Allah.

c.      Mendorong pribadi untuk selalu melakukan perbuatan yang buruk atau maksiat kepada Allah.

Dari segi makna katanaya, qalb bolak-balik. Ini dapat dimengerti karena ia selalu menjadi “rebutan” dua kekuatan yang berlawanan yaitu kekuatan rohani (dorongan kepada kebaikan) dan kekuatan hawā (dorongan kepada keburukan atau penyakit mental). Maka dapat dipahami bahwa qalb yang sehat akan selalu mengikuti dorongan kekuatam rohani (petunjuk ilahi) sehingga pribadi yang menyandangnya memiliki kepribadian yang sehat (kesehatan mental yang prima).

Sedang qalb yang lemah akan mengikuti dorongan kekuatan hawā dan dengan demikian pribadi penyandangnya terkena gangguan kejawaan atau penyakit mental.

C.    Al- Sirr

Sirr itu adalah lubuk hati,“sirr lil tajalliyat”. Tempat simpanan ilmu, kefahaman, iman dan apa yang dimusyahadahkan. Terbit niat itu dari sirr, sampai ke otak (akal) kemudian barulah ke hati. Hatilah yang membuat keputusannya.

Semua itu adalah ruh sepertimana tangan, kaki, mata itu sebagai jasad. Kata Imam Ghazali, ”nurrun latifatun robbaniyyun”, inilah ruh yang mana akal itu menerima, hati itu memahami, ruh itu menyaksikan perkara yang maknawi dan sirrun itu menyimpan rahasia. Bagaimana jasad itu ada berbagai nama berdasarkan kegunaannya, maka begitu jugalah dengan ruh yang dinamakan dengan berbagai nama berdasarkan kegunaannya.

Bila ruh adalah tempat bagi cobaan, dan qalb adalah tempat bagi pengetahuan (ma’rifat), maka sirr adalah tempat bagi musyahadah atau penyaksian. Sirr adalah apa yang terlindung dan tersembunyi antara seorang hamba dengan al-Haqq saat munculnya sejenis ilham (al-waridat).Al-Qushairi juga menyinggung bisikan atau khawatir. Ia mengartikannya sebagai bisikan yang hadir ke dalam hati. Ada empat sumber khawatir:

1.        Khawatir yang berasal dari malaikat disebut dengan Ilham.

2.        Khawatir yang berasal dari nafs disebut dengan hawajis.

3.        Khawatir yang berasal dari setan disebut dengan waswas.

4.        Khawatir yang berasal dari Allah SWT dan disampaikan kepada hati (qalb) disebut dengan khawatir Haqq[3]

BAB III

PENUTUP

 

A.   Kesimpulan

Al-Qur’an, hadist dan sufi  memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Terdapat daya- daya ruhani atau unsur ruhani yaitu anNafs, al‘Aql,  alQalb, dan al-sir. Di samping itu, manusia di beri akal dan hati sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik- baiknya. Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda- beda.Mengalirnya ruh diseluruh tubuh itu, menimbulkan cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran, penglihatan dan penciuman.penerimaan akal lebih kepada perkara yang zahir. Apabila sampai bab hakikat dan makrifat, akal tidak boleh memainkan peranannya.

 

B.    Saran

Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna di dunia ini, hendaklah manusia bersyukur dan memaksimalkan dirinya sebagai khalifah. Mengenali jati diri serta mengingat Allah swt adalah jalan yang paling utama dalam menjalani kehidupan ini. Hendaklah kita sebagai manusia berlaku adil dan penyayang kepada sesama manusia serta makhluk lainnya

DAFTAR PUSTAKA

 

Sa'adi. 2010 Kawruh Jiwa Suryomentaram. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,

 

Jalaluddin. 2016.Filsafat Pendidikan Islam dari Zaman ke Zaman.Palembang: Raja

Grafindo Persada.

 

Natta, Abuddin.2009.Perspektif Islam strategi pembelajaran. Jakarta : Kencana

 

Jurnal kajian pendidikan islam - ta’lim vol. 4 no. 2 – 2006

 

A.F Jaelani, 2001. Penyucian Jiwa ( Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental , Jakarta: AMZAH

 

https://renahusna.blogspot.com/2012/11/makalah-hakikat-manusia_9008.html Publikasi

pada 18 november 2012 (diakses pada 21 November 2019, Pukul 20.15)

 

 



[1] A.F Jaelani, Penyucian Jiwa ( Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental ,( Jakarta: AMZAH, 2001),

hlm.31.

[2] Jurnal kajian pendidikan islam - ta’lim vol. 4 no. 2 – 2006

 

[3] https://renahusna.blogspot.com/2012/11/makalah-hakikat-manusia_9008.html Publikasi pada 18 november 2012 (diakses pada 21 November 2019, Pukul 20.15)

1 comment: