Sejarah
Islam Nusantara
Sebenarnya corak Islam Nusantara
telah lama terwujud di wilayah Nusantara. Sebuah model pemikiran, pemahaman dan
pengamalan ajaran-ajaran Islam dengan mempertimbangkan tradisi atau budaya
lokal, sehingga dalam hal-hal di luar substansi, mampu menunjukkan model
berislam yang khas Nusantara dan membedakan dengan model berislam lainnya baik
di Timur Tengah, India, Turki dan sebagainya. Secara konseptual, identitas
Islam Nusantara ini telah ditulis oleh beberapa penulis, antara lain: Azyumardi
Azra (2015) dengan judul Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal dan Nor Huda
(2013) dengan judul Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia.
Maka istilah Islam Nusantara
bukanlah istilah baru, melainkan telah dikenal cukup lama, termasuk yang diperkenalkan
kedua penulis tersebut. Hanya saja, kedua penulis ini menjelaskan Islam
Nusantara ini dari segi tinjauan historis, belum banyak menyentuh tinjauan
hukum. Beberapa tahun terakhir, Islam Nusantara menjadi lebih populer karena
dijadikan tema utama Muktamar Nahdatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang Jawa Timur
yang berlangsung pada 1-5 Agustus 2015. Sementara NU mewakili umat Islam
mainstream Indonesia, Islam Nusantara makin terpublikasikan dalam masyarakat
Muslim Indonesia yang lebih luas, menembus masyarakat perkotaan hingga
pedesaan.
Penentuan tema utama Islam Nusantara
dalam muktamar tersebut sebagai respons terhadap citra Islam di pentas
internasional yang semakin merosot bahkan cenderung dinilai negatif, lantaran
kasus-kasus kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Islam, baik
pembunuhan, penyanderaan, pemboman dan sebagainya. 200 Islam Nusantara el
Harakah Vol.17 No.2 Tahun 2015 Identitas pelaku tindakan radikal dan
pengatasnamaan Islam tersebut melahirkan anggapan yang salah bahwa Islam itu
mengajarkan kekerasan, pertumpahan darah, tindakan keji, perlakuan kejam dan
sadis, perbuatan barbar, dan tindakan-tindakan dehumanisasi lainnya. Padahal
Islam lebih banyak mengajarkan kedamaian, kerukunan, keharmonisan, toleransi,
dan keterbukaan. Sayangnya ajaran-ajaran yang indah dan sejuk ini kurang
ditonjolkan, sehingga kurang dikenal oleh dunia internasional. Demikian pula,
mayoritas umat Islam justru lebih mengutamakan kedamaian daripada kekerasan.
Uniknya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam inilah
yang mengundang perhatian negatif-pejoratif dari masyarakat internasional,
Islam Nusantara atau model Islam
Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara
setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi,
indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai
Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.
Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi
Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif
masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan
Timur Tengah. Penyebaran Islam di Indonesia adalah
proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori
menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad
ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi
yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui
Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam
menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam
tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni
Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kyai di
pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa.
Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat
istiadat setempat. Praktik Islam awal di Nusantara
sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang
telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai,
menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam
tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi,
termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional
Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang
disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis
ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik
atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam.
Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang
mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional
dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan. Sementara warga Indonesia secara
seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan
perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–Palestina, Kebangkitan dunia
Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam
konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat
serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah Islamiyah
yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang
disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global
mengenai Islam. Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013
yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam. Di dalam
negeri, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah
secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional
khususnya Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai
dapat melemahkan Pancasila. Akibatnya, muncullah desakan dari
golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak mengambil jarak dan membedakan
diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan mendefinisikan Islam
Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim di Indonesia
menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini
berkat pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan
toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang
mendorong Indonesia — sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar
berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan
aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi. Maka
selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan
digalakkan Karakteristik Islam Nusantara Ciri utama dari Islam Nusantara
adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan
toleran. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan
pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak
menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya,
merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal. Salah satu
ciri utama dari Islam Nusantara adalah memepertimbangkan unsur budaya Indonesia
dalam merumuskan fikih. Islam Nusantara dikembangkan secara
lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini
dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan
penghormatan kepada kyai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan
bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan
paham yang salah atau radikal. Salah satu aspek khas adalah penekanan pada
prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal
Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta
pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun
hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain. Dalam konteks karakteristik islam
nusantara dapat dilihat setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu: Ø Pertama islam
nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya
sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui
akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang
dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara
Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik. Ø Kedua, penganut
setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri
Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam
timur tengah. Ø Ketiga, para
ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan
dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka
yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah
sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar
independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang
lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat
islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu
hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan
yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit adalah mazhab syafi’i, sehingga
wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam Nusantara
didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i. Ø Keempat,
mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu
tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan
antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain
sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah
kemudian islam nusantara menjadi islam yang sangat harmoni, toleran, dan
menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf. Ø Kelima, dalam
bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam
nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagai bagian dari
landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam
pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non
muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam
adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat
menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak Ø Keenam,
adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan
lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri
sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam
alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan
berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling
pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya. Ø Ketujuh, visi
islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat
islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dalam
mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk
kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang
sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi.
Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah
memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau Muhammad
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak diragukan lagi
bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa keselamatan.
Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia maupun diakhirat. Ø Kedelapan, dalam
memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i,
seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman,
dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih
terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi.
Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak
mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Islam dan
budaya lokal seimbang dalam wilayah nilai-nilai universal. Sebagimana
dijelasakan Ishom Syauqi, bahwa Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan
peradaban baru dunia yang berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal
keislaman dan kenusantaraan. Di sini, nilai Islam dan kenusantaraan sejajar,
sehingga keduanya menghasilkan peradaban baru. Islam merasa sejajar dalam
wilayah teologis (sistem kepercayaan) dan peribadatan dengan budaya lokal,
tetapi di antara keduanya tidak ada saling sapa melainkan saling menghormati
atau toleransi. Ini dibuktikan dengan adanya UUD dan Pancasila yang dijadikan
sebagai dasar negara Indonesia. Argumentasi yang cukup komprehensif diungkapkan
oleh Musthofa Bisri dengan ungkapan toleransi: “Islam Nusantara yang telah
memiliki wajah yang mencolok, sekaligus meneguhkan nilai-nilai harmoni sosial
dan toleransi dalam kehidupan masyarakatnya…….. Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta bersendikan
Bhinneka Tunggal Ika, secara nyata merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman
Islam ahl as-sunnah wa al-jama’ah yang berintikan rahmat (www.nu.or.id 2016).” Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa,
dan Bernegara Gagasan Islam Nusantara merupakan
salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara
historis, berdasarkan data-data filologis (naskah catatan tulis tangan),
keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan
konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat.
Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat,
makanya terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh dari
tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal
serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan
menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo
Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Dengan demikian, praktik Islam
Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara,
baik kepulauan Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal
menuliskan ajarannya juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi
dakwah tersebut tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan
wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa,
Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan
aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak. Praktik Islam Nusantara mampu
memberikan kedamaian umat manusia. Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa
lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan
kekhasan Islam Nusantara. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih
(hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan
aksara dan bahasa lokal. Praktik keislaman Nusantara, seperti
tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi
kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Adat yang tetap
berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang
toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi. Jejaring Islam Nusantara di dunia
penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari
terorisme global. Karakter Islam Nusantara dapat menjadi pedoman berfikir dan
bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari
pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan
kerusakan alam. Kritikan
terhadap Islam Nusantara Segera setelah diumumkan, Islam
Nusantara menghadapi tentangan dan kritik dari aliran Islam yang lain.
Tentangan datang khususnya dari para penganut aliran wahhabi dan salafi, atau
aliran serupa yang hendak "membersihkan" Islam dari unsur-unsur lokal
yang dianggap tidak Islami, yang sering dihujat sebagai praktik syirik atau
bidah. Hizbut Tahrir Indonesia telah secara terang-terangan menentang konsep
Islam Nusantara. Islam Nusantara dikritik sebagai suatu bentuk Islam
sinkretisme yang merusak "kesempurnaan" dan ketunggalan Islam, serta
dianggap merusak persatuan umat. Muhammadiyah, salah satu organisasi
Islam berpengaruh di Indonesia walaupun tidak menentang secara langsung konsep
ini, menekankan bahwa istilah Islam Nusantara harus digunakan secara
berhati-hati dan proporsional, agar tidak menindas aliran Islam lain yang
memiliki pemahaman berbeda tentang Islam. Jika Islam Nusantara didukung dan
diangkat sebagai aliran Islam utama oleh negara, maka ditakutkan aliran Islam
lain akan mengalami penindasan dan diskriminasi. Mereka
yang menolak Islam Nusantara memiliki pandangan bahwa Islam itu hanya satu.
Islam yang satu itu merupakan Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam tidak bisa diberikan identitas berdasarkan suatu pendekatan, corak,
peranan maupun kawasan sehingga membentuk identitas Islam khusus seperti Islam
Nusantara itu. Kalau terdapat Islam lain di luar Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad itu harus segera menyesuaikan diri dengan Islam standar tersebut,
sehingga keunikan identitas Islam tertentu justru dipandang negatif karena
telah melakukan penyimpangan dari format Islam yang ideal (Islam yang
sebenarnya). Keunikan Islam Indonesia sedang menghadapi gugatan seiring dengan
kehadiran fenomena radikalisme belakangan ini (Rahmat dalam Rahmat et al., 2003:
xvi). Pemahaman keagamaan mainstream umat Islam Indonesia dinilai sebagai
pemahaman yang salah, karena berbeda dengan Islam ideal, Islam yang dicontohkan
oleh salaf al-shalih. Keunikan ekpresi keislaman masyarakat Indonesia dicerca
sebagai ‘jahiliyah modern’ yang menyimpang dari Islam yang benar, otentik, dan
asli. Otensitas Islam hilang ketika bercampur dengan unsur luar, termasuk unsur
Nusantara. Islam senantiasa satu kapan pun dan
dimanapun. Islam tidak akan mengalami perubahan meskipun menghadapi masa modern
sekalipun, dan Islam juga tidak akan mengalami perubahan ketika agama yang
dibawa Nabi Muhammad ini disebarluaskan dan dikembangkan di luar Makkah,
termasuk misalnya ketika disebarkan dan dikembangkan di Indonesia. Ada
pandangan seolah-olah Islam Indonesia itu berbeda dengan Islam kawasan lain
(Langgulung dalam Azhari & Saleh, 1989: 157). Islam adalah Islam dimana
saja berada. Jadi, sifat Islam itu mutlak, kekal, dan abadi. Kemungkinan
berbeda hanya pada tataran pelaksanaannya. Ketiga sifat Islam itulah yang
mengawal kesatuan identitas Islam sehingga Islam berada dimanapun dan kapanpun
tetap sebagai Islam seperti Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada bagian lain dalam posisi yang
berlawanan dengan pandanganpandangan yang menolak Islam Nusantara itu, terdapat
beberapa pemikir yang justru menyetujuinya. Azra (dalam Sahal & Aziz, 2015:
171-172) menyatakan bahwa Islam satu itu hanya ada pada level al Quran. Namun
al Quran (serta hadits) membutuhkan rumusan yang rinci, sehingga ayat-ayatnya
perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya. Hasilnya berupa kemunculan
penafsiran dan penjelasan yang berbeda-beda, kemudian menjadi madzhab atau
aliran. Bagi pemikir-pemikir Islam yang
mendukung identitas Islam Nusantara ini tampaknya mereka memandang bahwa substansi
Islam memang satu, namun ekpresinya sangat beragam. Ketika mereka mengakui
keberadaan identitas Islam Nusantara, mereka hanya memandang identitas Islam
itu dari tinjauan ekpresinya.Ekpresi Islam Nusantara ini ketika menunjukkan
fenomena-fenomena yang sama secara berkesinambungan dari generasi ke generasi
berikutnya, pada gilirannya akan membentuk karakteristik-karakteristik tertentu
yang dapat diidentifikasi, diketahui dan dipahami sehingga memudahkan orang
lain dalam memahami Islam Nusantara tersebut. Daftar Pustaka https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara http://hasanxch.blogspot.co.id/2016/11/karakteristik-islam-nusantara.html http://kelompok8studis.blogspot.co.id/2016/04/makalah-studi-islam-tentang-islam.html