PENGERTIAN K3 DAN HUBUNGAN KINERJA KARYAWAN DALAM PERSPEKTIF MANAJEMAN
A.
Pengertian
K3 dan Hubungan Kinerja Karyawan
1.
Pengertian Keselamatan Kesehatan Kerja
a.
Keselamatan
Keselamatan
berasal dari kata dasar selamat, bersumber dari Bahasa Inggris yaitu safety yang dhubungkan dengan keadaan
bebasnya seseorang dari kondisi celaka (accident).
Oleh sebab itu, keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun pendekatan
praktis akan mempelajari berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan dan berupaya mengembangkan berbagai cara untuk meminimalisasi
terjadinya kecelakaan.
Menurut
Silalahi dan Rumandang (dalam Widodo, 2015), keselamatan merupakan sesuatu
usaha untuk mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat. Selanjutnya,
Leon C. Meggison (dalam Mangkunegara, 2000), berpendapat bahwa keselamatan
mencakup dua istilah yaitu, risiko keselamatan, dan risiko kesehatan.
Secara
filosofi, keselamatan dimaknai sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah. Dari segi keilmuan,
dimaknai sebagai pengetahuan dan penerapan dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan (Purnama, 2010).
Sementara
itu Slamet (2012) mendefinisikan keselamatan kerja sebagai suatu keadaan
terhindar dari bahaya selama melakukan pekerjaan. Menurutnya, terdapat empat
unsure yang dapat menunjang keselamatan kerja, yaitu:
1)
adanya unsure-unsur keamanan dan keselamatan kerja,
2)
adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja,
3)
teliti dalam bekerja,
4)
melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan
kesehatan kerja.
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, keselamatan kerja adalah
situasi dan kondisi yang menjamin pencegahan dari kecelakaan setiap
ketidaknyamanan dalam melaksanakan pekerjaan sehingga pegawai dapat
melaksanakan tugasnya dengan aman dan nyaman.
b.
Kesehatan
Kesehatan
berasal dari kata dasar “sehat” yang diterjemahkan Bahasa Inggris health dimaknai dengan terbebasnya
seseorang dari penyakit, bermakna juga secara fisik, mental, dan social.
Kesehatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun pendekatan praktis yang
berusaha mempelajari berbagai faktor yang dapat menyebabkan manusia menderita
berbagai penyakit dan juga melakukan berbagai cara pengembahan untuk mencegah
penyakit yang dapat menyerang manusia, dan mengantarkannya kea rah yang lebih
sehat. Pada dasarnya kesehatan itu meliputi empat aspek sebagai berikut:
1)
Kesehatan fisik, terwujud jika seseorang tidak merasa dan mengeluh
sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit
2)
Kesehatan mental (jiwa), mencakup tiga komponen, yakni pikiran, emosional,
dan spiritual
3)
Kesehatan social, terwujud jika seseorang mampu berhubungan dengan
orang lain atau sekelompok lain secara normal
4)
Kesehatan dari aspek ekonomi, apabila seseorang yang menghasilkan
sesuatu yang dapat mendukung hidupnya sendiri atau keluarga
Dapat disimpulkan bahwa, kesehatan adalah suatu keadaan fisik,
mental, dan social kesejahteraan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya dan di tempat kerjanya, yang diindikasikan oleh ketiadaan
penyakit atau kelemahan.
c.
Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)
Secara
filosofi K3 suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
jasmani maupun rohani tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya, serta
hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur. Sementara itu, dari
prespektif keilmuan K3 dijelaskan bahwa semua ilmu dan penerapannya dimaknai
sebagai usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, Penyakit Akibat Kerja
(PAK), kebakaran, peledakan, dan pencemaran lingkungan.
Menurut
Ridley Jhon (dalam Boby Shiantosia, 2000), mengartikan K3 adalah suatu kondisi
dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaanya, maupun
masyarakatnya dan lingkungan sekitar. K3 menunjukkan kepada kondisi-kondisi
fisologis-fisik dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan
kerja yang disediakan perusahaan (Jackson, 1999).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa K3 adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang
sehat dan aman baik itu bagi pekerjaanya maupun bagi masyarakatnya dan
lingkungan sekitar organisasi atau tempat kerja tersebut, sehingga pegawai
dapat melakukan pekerjaannya dengan tenang dan motivasi yang tinggi.[1]
2.
Hubungan Keselamatan Kerja terhadap Kinerja Para Karyawan
Keselamatan kerja yaitu suatu keadaan dimana tenaga kerja merasa
aman dan nyaman, atas perlakuan yang diperoleh dari lingkungannya dan berdampak
terhadap kualitas bekerja seseorang. Perasaan nyaman mulai dari dalam diri
tenaga kerja, apakah dia merasa nyaman terhadap peralatan keselamatan kerja,
peralatan yang digunakan, tata letak ruang kerja, dan beban kerja yang
diperoleh ketika melakukan pekerjaan.
Dharma (2002;164), ukuran-ukuran kinerja bagi seseorang manajer
pabrik dapat dilihat berdasarkan beberapa item yang ada, salah satu diantaranya
ialah tentang keselamatan yang ditimbulkan oleh kelalaian dari beberapa
karyawan. Bisa disimpulkan bahwa keselamatan kerja termasuk salah satu dari
beberapa faktor yang penting dalam melaksanakan pekerjaan, dan memiliki
pengaruh terhadap kinerja karyawan
3.
Hubungan Kesehatan Kerja terhadap Kinerja Para Karyawan
Soepomo (1985;75) berpendapat bahwa kesehatan kerja adalah
aturan-aturan dan usaha-usaha untuk menjaga buruh dari kejadian yang tidak
diinginkan atau keadaan yang dimana perburuhan yang menimbulkan kerugian
terhadap kesehatan dan kesusilaan dalam melakukan pekerjaan atau hubungan
kerja. Suma’mur (1996;67) mengatakan bahwa dalam pencapaian kinerja karyawan
diperlukan program keselamatan dan kesehatan kerja yang memiliki beberapa
fungsi berikut:
a.
Melindungi karyawan dari keadaan dan kondisi yang dapat
membahayakan keselamatan kerja serta kesehatan para pekerja
b.
Membantu penyesuaian mental maupun fisik setiap karyawan yang akan
memberi pengaruh positif bagi keehatan karyawan dan kinerja karyawan akan lenih
produktif
c.
Membantu tercapainya dan terpeliharanya kesehatan fisik dan psikis
karyawan, serta meningkatkan kinerja karyawan setinggi-tingginya.[2]
B.
AktivitasManajemen Keselamatan
Manajemen
keselamatan yang efektif membutuhkan sebuah komitmen organisasional pada
kondisi bekerja yang aman. Tetapi yang lebih penting program keselamatan yang
dirancang dan dikelola dengan baik dapat memberikan keuntungan yaitu mengurangi
kecelakaan dan biaya-biaya terkait, seperti kompensasi para pekerja dan denda.
Selanjutnya, kecelakaan dan persoalan keselamatan yang lain biasanya berkurang
sebagai akibat dari usaha-usaha manajemen yang menekankan keselamatan.
Inti dari
manajemen keselamatan adalah komitmen organisasional pada usaha keselamatan
yang komprehensif. Usaha ini harus dikoordinasi dari manajemen tingkat atas untuk
memasukkan semua anggota organisasi dan juga harus tercermin dalam
tindakan-tindakan manjerial. Ada 3 pendekatan berbeda yang digunakan oleh
pemberi kerja dalam mengatur keselamatan, yakni:
a.
Merancang pekerjaan
b.
Mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan keselamatan
c.
Menggunakan komite-komite keselamatan
d.
Mengoordinasikan investigasi keselamatan
a.
Merancang lokasi dan peralatan kerja
b.
Meninjau peralatan
c.
Menerapkan prinsip-prinsip ergonomi
a.
Menguatkan motivasi dan sikap keselamatan
b.
Memberikan pelatihan keselamatan karyawan
c.
Memberikan penghargaan keselamatan melalui program intensif.[3]
C.
UpayaPeningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Organisasi
Usaha-usaha yang diperlukan dalam meningkatkan keselamatan dan
kesehatan kerja yaitu sebagai berikut:
1.
Mencegah dan mengurangi kecelakaan kebakaran dan peledakan
2.
Memberikan peralatan perlindungan diri untuk pegawai yang bekerja
pada lingkungan yang menggunakan peralatan yang berbahaya
3.
Mengatur suhu, kelembaban, kebersihan udara, penggunaan warna
ruangan kerja, penerangan yang cukup terang dan menyejukkan, dan mencegah
kebisingan
4.
Mencegah dan memberikan perawatan terhadap timbulnya penyakit
5.
Memelihara kebersihan dan ketertiban, serta keserasian lingkungan
kerja
6.
Mencegah dan memberikan perawatan terhadap timbulnya penyakit
7.
Menciptakan suasana kerja yang menggairahkan semangat kerja
pegawai.[4]
Disiplin kerja merupakan dua kata yang memiliki pengertian
sendiri-sendiri. Untuk itu, apabila ingin mengupasnya secara mendalam, perlu
mencermati pemahaman kedua kata tersebut. Pengertian disiplin berdasarkan para
ahli yaitu sebagai berikut:
1.
Menurut Handoko (2001), disiplin adalah ketersediaan seseorang yang
timbul dengan kesadaran sendiri untuk mengikuti peraturan-peraturan yang
berlaku dalam suatu organisasi
2.
Menurut Heidjrachman dan Husnan (2002), disiplin adalah setiap
perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah
dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan seandainya
tidak ada pemerintah.
Sementara itu, kata kedua adalah kinerja, sebagai kata dasar yang
dipekerjakan. Pengertian kerja yaitu sebagai berikut:
1.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1999), kerja adalah suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh nilai positif dari aktivitas
tersebut. Kerja diartikan sebagai proses penciptaan atau pembentukan nilai baru
pada suatu unit sumber karya, pengubahan atau perubahan nilai pada suatu unit
alat pemenuh kebutuhan yang ada
2.
Menurut Muchdarsyah Sinungan (2005), kerja di samping untuk
memenuhi kebutuhan hidup, juga mempunyai nilai terhadap lingkungan
kerja/perusahaan dan masyarakat luas
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja merupakan
suatu alat yang digunakan pimpinan unuk berkomunikasi dengan pegawai agar
mereka bersedia untuk mengubah perilaku mereka mengikuti aturan main yang
ditetapkan.
Terdapat tiga bentuk pendekatan disiplin kerja, yaitu:
1.
Disiplin modern, yaitu pendekatan yang mempertemukan sejumlah keperluan
atau kebutuhan baru di luar hukuman. Untuk itu, asumsi pendekatan ini adalah:
a.
Disiplin modern merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman
secara fisik
b.
Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum
yang berlaku
c.
Keputusan-keputusan yang semuanya terhadap kesalahan atau prasangka
harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan dengan mendapatkan
fakta-faktanya
d.
Melakukan proses terhadap keputusan yang berat sebelah pihak
terhadap kasus disiplin
2.
Pendekatan disiplin dengan tradisi, yaitu pendekatan disiplin
dengan cara memberikan hukuman. Untuk itu, asumsi pendekatan ini adalah:
a.
Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan, dan tidak pernah ada
peninjauan kembali bila telah diputuskan
b.
Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksankannya harus
disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya
c.
Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pelanggar maupun
kepada pegawai lainnya agar tidak mengikuti pelanggaran yang sama
d.
Peningkatan berbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih
keras
e.
Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggar kedua kalinya
harus diberi hukuman yang lebih berat
Empat langkah menuju disiplin yang positif :
1.
Konseling
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran
karyawan akan kebijakan dan peraturan organisasional. Konseling dari seorang
supervisor dalam unit kerja juga dapat memiliki pengaruh yang positif.
Apabila karyawan gagal mengkoreksi perilakunya, konferensi kedua
menjadi perlu. Jika tingkat pertama mengambil bentuk sebagai sebuah percakapan
antara supervisor dan karyawan maka tingkat ini dokumentasi dalam bentuk
tertulis. Dalam tahapan ini supervisor dan karyawan mengembangkan solusi-solusi
tertulis untuk mencegah timbulnya masalah-masalah yang lebih lanjut.
3.
Peringatan Terakhir
Ketika karyawan tidak mengikuti solusi-solusi tertulis yang
dikemukakandalam langkah kedua, diadakan konferensi peringatan terakhir. Dalam
konferensi tersebut, supervisor menekannkan [entingnya pengkoreksian tindakan
yang kurang pantas kepada karyawan.
Apabila karyawan tersebut gagal untuk mengikuti rencana tindakan
yang dikembangkan dan tetap ada masalah yang lebih lanjut, supervisor
membehentikan karyawan tersebut.
Keunggulan dari pendekatan yang positif pada disiplin ini berfokus
pda penyelesaian masalah. Kesulitan yang paling besar pada pendekatan ini
adalah banyaknya jumlah pelatihan yang dinbutuhkan oleh para supervisor dan
konselor yang efektif.
Serikat pekerja
adalah sistem social yang terbuka yang mengejar tujuan dan seringkali
dipengaruhi oleh lingkungan luar. Serikat pekerja merupakan wadah bagi karyawan
sebagai wahana untuk berpartisipasi dalam perusahaan. Partisipasi karyawan
dalam hubungannya dengan hubungan kerja dapat dilakukan secara langsung atau
melalui sistem perwakilan dalam bentuk serikat pekerja. Sebab itu, partisipasi
karyawan dalam hubungan kerja juga
merupakan perwujudan hak dari kebebasan karyawan berorganisasi dan mengeluarkan
pendapat yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Oleh karena itu, dalam
serikat pekerja masalah legal mempunyai dua sasaran yang luas, yaitu:
1. Membuat
para karyawan sebagai serikat pekerja bertanggungjawab pada pengguna dana-dana
serikat kerja sebagaimana mestinya dengan membuat laporan keperluan-keperluan
yang rinci
2. Undang-undang
mencoba membuat serikat-serikat kerja lebih demokratis dengan memberikan
hak-hak tertentu pada anggota.[5]
Penelitian
secara kontinu menunjukkan bahwa para karyawan bergabung dengan serikat pekerja
karena dua alasan:
1. Karyawan
tidak puas dengan cara mereka diperlakukan oleh para pemberi kerja mereka
2. Karyawan
menyakini bahwa serikat-serikat pekerja dapat memperbaiki situasi-situasi kerja
mereka
Penangkalan
dari usaha-usaha pembentukan serikat pekerja adalah dengan:
1. Kompensasi
kompetitif yang masuk akal
2. Lingkungan
kerja yang baik
3. Manajemen
dan pengawasan yang efektif
4. Perlakuan
yang adil dan responsive terhadap para pekerja.[6]
Serikat pekerja
atau ketidak puasan karyawan merupakan sumber kekacauan potensial bagi para
pemberi kerja, entah diungkapkan atau tidak. Ketidak puasan yang tersembunyi
tumbuh dan menciptakan reaksi-reaksi yang mungkin sepenuhnya berada di luar
proporsi persoalan semula. Oleh karena itu, adalah penting untuk memberi sebuah
jalan keluar untuk ketidakpuasan. Sebuah keluhan (complain) yang merupakan indikasi ketidakpuasan karyawan,
merupakan jalan keluar. Apabila karyawan diwakili oleh serikat kerja dan
karyawan tersebut berkata “saya seharusnya menerima pemindahan pekerjaan karena
saya lebih senior, seperti yang dikatakan dalam kontrak serikat pekerja” dan ia
mengumpulkannya dalam tulisan, keluhan tersebut menjadi keluhan tertulis.
Keluhan tertulis adalah keluhan yang dinyatakan secara formal dalam tulisan,
manajemen harus memperhatikan keluhan dan angkatan kerja. Tanpa prosedur
keluhan tertulis, manajemen mungkin tak mampu untuk merespon persoalan karyawan
karena para manajer tidak menyadarinya, oleh karena itu sebuah prosedur keluhan
tertulis yang formal memberikan alat komunikasi yang berharga untuk organisasi.
Tanggung jawab
keluhan tertulis
Pembagian umum
tanggung jawab antara unit SDM biasanya memiliki tanggung jawab yang lebih
umum. Majaer harys menerima posedur keluhan tertulis sebagai sebuah pembatas
yang mungkin pada beberap keputusan mereka.
Prosedur
keluhan tertulis (grievance procedures)
adalah saluran komunikasi formal yang dirancang untuk menyelesikan keluhan
tertulis secepat mungkin setelah masalah terjadi. Para supervisor ini pertama
biasanya paling dekat dengan masalah, akan tetapi supervisor tersebut harus
memperhatikan banyak persolan lain diamping keluhan tertulis seorang karyawan.
Jadi, agar mendapatkan perhatian yang pantas, keluhan tertulis merupakan sebuah
proses penyelesaian.
Pembagian umum
tanggung jawab SDM : manajemen keluhan tertulis.[7]
Para Manajer |
|
Membantu
merancang prosedur keluhan tertulis |
Beroperasi
dalam ketentuan prosedur keluhan tertulis |
Memonitor
kecendrungan dalam angka keluhan tertulis untuk organisasi |
Berusaha
menyelesaikan keluhan tertulis bila mungkin |
Membantu
mempersiapkan kasus keluhan tertulis untuk arbitrasi |
Mendokumentasikan
kasus keluhan tertulis untuk prosedur keluhan tertulis |
Memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan keluhan tertulis |
Tertulis
dalam usaha pencegahan keluhan tertulis |
DAFTAR PUSTAKA
Lijan Poltak Sinambela, Manajemen
Sumber Daya Manusia (Membangun Tim Kerja yang Solid untuk Meningkatkan
Kinerja), (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016). hlm.361-362
Sedarmayanti, Manajemen Sumber
Daya Manusia (Reformasi Birokrasi
Manajemen Pegawai Sipil), (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm.225
Robert L. Mathis & John H. Jackson, Human Resouce Management Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Salemba Empat, 2009), Ed.10, hlm. 490-491
Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2011), hlm.162
Veithzal Rivai & Ella Jauvani Sagala, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori dan Praktik,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.872-873
[1]
Lijan Poltak Sinambela, Manajemen Sumber
Daya Manusia (Membangun Tim Kerja yang Solid untuk Meningkatkan Kinerja),
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016). hlm.361-362
[2]
Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya
Manusia (Reformasi Birokrasi Manajemen
Pegawai Sipil), (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm.225
[3] Robert L.
Mathis & John H. Jackson, Human
Resouce Management Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Salemba Empat,
2009), Ed.10, hlm. 490-491
[4] Anwar
Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya
Manusia Perusahaan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2011), hlm.162
[5]
Veithzal Rivai & Ella Jauvani Sagala, Manajemen
Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori dan Praktik, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.872-873
[6] Robert L.
Mathis & John H. Jackson, Op.Cit, hlm.
511-516
[7] Robert
L. Mathis & John H. Jackson, Ibid, hlm.
518-519