Showing posts with label MANAJEMAN KEUANGAN. Show all posts
Showing posts with label MANAJEMAN KEUANGAN. Show all posts

Saturday, July 25, 2020

ASET DAERAH SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN DALAM PERSPEKTIF MANAJEMAN KEUANGAN

ASET DAERAHSEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN DALAM PERSPEKTIF MANAJEMAN KEUANGAN


 BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Aset daerah merupakan sumber daya penting bagi pemerintah daerah sebagai penopang utama pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk dapat mengelola aset secara memadai. Dalam pengelolaan aset, pemerintah daerah harus menggunakan pertimbangan aspek perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan atau penggunaan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindah tanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi agar aset daerah mampu memberika kontribusi optimal bagi pemerintah daerah yang bersangkutan. Efisiensi dalam pengelolaan aset milik daerah adalah mutlak diperlukan karena terbatasnya sumber daya pemerintah dalam rangka pelayanan publik, sehingga pengadaan aset milik daerah yang diperlukan harus benar-benar sesuai dan terbatas pada yang diperlukan saja dengan maksud menghindari pemborosan keuangan daerah. Manajemen asset daerah mencangkup proses perencanaan dan pengawasan asset-aset fisik selama masa asset suatu instansi atau organisasi lainnya.

B.      Rumusan Masalah

1.        Apa yang dimaksud dengan Aset?

2.        Bagaimana Inventarisasi dan Pencatatan Status Aset Daerah?

3.        Bagaimana Penilaian Aset Daerah?

4.        Bagaimana Pengelolaan Optimalisasi Utilisasi Aset Daerah?

C.     Tujuan

1.           Mengetahui pengertian Aset

2.           Mengetahui Inventarisasi dan Pencatatan Status Aset Daerah

3.           Mengetahui Penilaian Aset Daerah

4.           Mengetahui Pengelolaan Optimalisasi Utilisasi Aset Daerah

 

BAB II PEMBAHASAN

A.     Pengertian Aset

Standar Akuntansi Pemerintahan dalam PSAP 07-1 mendefinisikan aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya. Sementara itu, pengertian aset secara umum menurut Siregar (2004: 178) adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu (perorangan). Aset daerah adalah semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas bahan APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.1

Pengertian aset adalah sesuatu yang memiliki nilai. Real estate sebagai komponen utama dari aset daerah, oleh pemerintah daerah selanjutnya harus dapat dimanfaatkan sebagai aset yang produktif dan berguna sehingga berdampak positif dalam pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Dalam Pasal 3 ayat (2) Per aturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/daerah menyebutkan bahwa pengelolaan barang milik Negara/daerah meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindah tanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.2 Aset daerah


1 Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal. 146

2 Perubahan Atas Peraturan pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 Tentang pengelolaan Barang milik Negara / Daerah (PP Nomor 38 Tahun 2008)

 

tidak selalu berkaitan dengan bangunan fisik akan tetapi aset mencakup seluruh aspek di suatu daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah.

 B.      Inventarisasi dan Pencatatan Status Aset Daerah

Inventarisasi merupakan kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik daerah (Permendagri 17/2007 pasal 1 ayat 31). Inventarisasi adalah kegiatan atau tindakan untuk melakukan perhitungan, pengurusan, penyelenggaraan, pengaturan, pencatatan, data dan pelaporan barang milik daerah dalam unit pemakaian. Inventarisasi aset terdiri atas dua aspek, yaitu inventarisasi fisik dan yuridis/legal. Aspek fisik terdiri atas bentuk, luas, lokasi,volume/jumlah, jenis, alamat dan lain-lain. Sedangkan aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain- lain. Proses kerja yang dilakukan adalah pendataan, kodifikasi/ labelling, pengelompokan dan pembukuan/ administrasi sesuai dengan tujuan manajemen aset. Inventarisasi merupakan kegiatan pencacahan (opname) fisik dan administratif barang yang meliputi pendapatan, pencatatan, pendaftaran dan pelaporan hasil inventarisasi tersebut. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui jumlah, nilai dan kondisi barang milik negara/ daerah pada suatu saat tertentu ( Pusdiklat Spimnas 2013 : 24).

Inventarisasi adalah kegiatan atau tindakan untuk melakukan perhitungan, pengurusan, penyelenggaraan, pengaturan, pencatatan data dan pelaporan barang milik daerah dalam unit pemakaian. (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007:34) Adapun pengertian Barang Milik Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 butir 1 huruf a,b dan butir 2 huruf a, b, c, d Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan barang Milik Daerah bahwa Barang Milik Daerah adalah Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD, barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang sebagaimana dimaksud meliputi :

 

1.            Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;

2.            Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

3.            Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau

4.            Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 : 6).

Pada dasarnya Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah adalah Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah berwenang dan bertanggungjawab atas pembinaan dan pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah. Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah selaku pengelola, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola barang milik daerah selaku pembantu pengelola, Kepala SKPD selaku pengguna, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah selaku kuasa pengguna, Penyimpan barang milik daerah dan Pengurus barang milik daerah. Barang Milik daerah dimaksud dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak yang semua keberadaannya di semua tempat tidak terbatas hanya ada pada pemerintah daerah atau lembaga namun juga yang berada pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan statusnya menjadi kekayaan daerah yang dipisahkan. Barang Milik Daerah yang dipisahkan adalah barang daerah yang pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah atau BUMD lainnya yang anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan Daerah atau BUMD lainnya. Istilah Barang Milik Daerah atau Aset Daerah sebagaimana tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 sering kali digunakan bergantian dengan istilah lain yaitu kekayaan daerah atau barang milik daerah.3 Dengan demikian barang milik daerah atau aset daerah atau kekayaan daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang Milik Daerah atau aset Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan pemerintahan di daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) salah satunya

 


3 Winardi, Istilah Ekonomi ( Bandung: Mandar Maju, 1996), hal.

 

berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan. Penerimaan hasil penjualan kekayaan (aset) daerah yang dipisahkan dapat berupa penjualan perusahaan Milik Daerah (BUMD), penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah. Oleh karena barang milik daerah atau aset daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang pedoman teknis pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah, agar pelaksanaan pengelolaan asset daerah dapat dilakukan dengan baik dan benar sehingga dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pengelola asset daerah hendaknya berpegang teguh pada asas- asas sebagai berikut :

1.    Fungsional

 

Setiap pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan BMN/D harus dilakukan sesuai fungsi, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing

2.    Kepastian Hukum

 

Pengelolaan BMN/D harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku

3.    Transparansi

 

Penyelenggaraan pengelolaan BMN/D harus trasparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh hak informasi

4.    Efisiensi

 

Arah pengelolaan BMN/D agar sesuai batasan standar kebutuhan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tupoksi secara optimal

5.    Akuntabilitas

Setiap kegiatan pengelolaan BMN/D harus dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder/rakyat

6.    Kepastian Nilai

 

Pengelolaan BMN/D harus didukung adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindah tanganan BMN/D serta penyusunan neraca pemerintah. Selanjutnya dikemukakan bahwa maksud dikeluarkannya pedoman teknis tersebut adalah untuk menyeragamkan langkah dan tindakan yang diperlukan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pentingnya pengelolaan barang milik daerah agar dapat diketahui kejelasan status kepemilikan BMD, inventarisasi kekayaan daerah dan masa pakai BMD, optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan untuk peningkatan PAD, antisipasi kondisi BMD dalam fungsi pelayanan publik, pengamanan barang daerah, dasar penyusunan neraca, serta kewajiban untuk melaporkan kondisi dan nilai BMD secara berkala. Manfaat pengelolaan Barang Milik Daerah adalah guna meningkatkan pengurusan dan akuntabilitas, meningkatkan manajemen layanan, meningkatkan manajemen resiko yaitu menganalisis kemungkinan dan konsekuensi dari kegagalan aset dan meningkatkan efisiensi keuangan.

C.     Penilaian Aset Daerah

Pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam hal pengelolaan aset daerah. Aset daerah dalam laporan keuangan pemerintah daerah akan ditampilkan di neraca yaitu pada sisi aset atau aktiva. Aset daerah sebagaimana yang ditampilkan dalam neraca pemerintah daerah bersifat carry-over, artinya akan dilaporkan terus di neraca selama aset tersebut masih ada, tetapi satuan kerja juga harus menyusun neraca satuan kerja perangkat daerah.4 Koordinasi antara kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah dengan sekda selaku pengelola barang milik


4 Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal. 147

 

daerah, kepala SKPD selaku pengguna barang, kepala SKPKD selaku BUD, biro/bagian perlengkapan sekda, dan bendahara barang sangat penting dilakukan untuk perencanaan, pengendalian, sinkronisasi dan updating data aset pemerintah daerah. Data aset tersebut sangat penting untuk penyusunan nerasa pemerintah daerah. Tanggung jawab pengelolaan aset daerah langsung diawasi oleh Gubernur, Bupati atau Walikota setempat.

Gubernur, Bupati atau Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah mempunyai wewenang menetapkan kebijakan, menetapkan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindanganan tangan tanah, serta menyetujui segala hal kebijakan tentang aset daerah. Aset-aset daerah perlu mendapat pengamanan yang memadai. Pengamanan aset daerah yang diperlukan meliputi pengamana administrasi dan catatan, pengamanan secara hokum, dan pengamanan fisik. Alur pelaporan atas aset daerah mengarah kepada pemerintah daerah tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah daerah diharapkan mampu mengawasi dan menilai keberlangsungan pengelolaan aset daerah.

D.     Pengelolaan Optimalisasi Utilisasi Aset Daerah

Tugas dan wewenang pejabat daerah yang terkait dengan pengelolaan aset daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara; PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; dan peraturan perundangan terkait. Pengelolaan aset daerah dikelola oleh seluruh pejabat daerah dengan kewenangan yang berbeda. Optimalisasi pengelolaan aset daerah diharapkan dapat menjadikan aset daerah sebagai sumber pendapatan di daerah tersebut. Pemerintah daerah bisa mendapatkan penghasilan daerah yang besar apabila pengelolaan dilakukan dengan baik dan benar. Salah satu aspek penting untuk optimalisasi manajemen keuangan daerah adalah adanya system manajemen aset daerah yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel.5 Manager publik di pemerintah daerah perlu mengetahui prinsip-prinsip manajemen aset daerah agar aset-aset yang ada dapat dikelola secara optimal.


5 Ibid, hal. 159

 

BAB III PENUTUP

A.     Kesimpulan

Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya. Dalam Pasal 3 ayat (2) Per aturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/daerah menyebutkan bahwa pengelolaan barang milik Negara/daerah meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindah tanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Pengelolaan aset yang baik dapat menjadikan aset sebagai sumber pembiayaan daerah yang cukup besar.

 B.      Saran

Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola aset di daerahnya

sendiri dan bisa mendapatkan pemasukan daerah lewat pengelolaan tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut, sudah sepatutnya banyak daerah di Indonesia yang maju mengingat sumber daya alam di tiap daerah Indonesia yang cukup melimpah. Pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan yang adil antara mengambil keuntungan dari aset dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan aset tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Perubahan Atas Peraturan pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 Tentang pengelolaan Barang milik Negara / Daerah (PP Nomor 38 Tahun 2008).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis. Pengelolaan Barang milik Daerah.

Mahmudi, 2020, Manajemen Keuangan Daerah, Jakarta: Penerbit Erlangga. Winardi, 1996 Istilah Ekonomi, Bandung: Mandar Maju.


Monday, June 29, 2020

SISTEM DANA PERIMBANGAN DALAM MANAJEMAN KEUANGAN

SISTEM DANA PERIMBANGAN DALAM MANAJEMAN KEUANGAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Sistem Dana Perimbangan” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini yang menjadi tugas mata kuliah Manajemen Keuangan  dengan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca. Selain itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.

 

Sawangan, 17 Maret 2020

 

 

Penyusun

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A.    Latar Belakang ................................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 2

C.     Tujuan dan Penulisan.......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3

A.    Dana Bagi Hasil.................................................................................................. 4

B.     Dana Alokasi Umum......................................................................................... 10

C.     Dana Alokasi Khusus....................................................................................... 16

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 20

A.    Kesimpulan ...................................................................................................... 20

B.     Saran................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 21

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, pemerintah daerah diberi wewenang untuk menggali potensi daerahnya dan menetapkan prioritas pembangunan.

Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah tersebut. Dengan pemberian otonomi daerah kabupaten dan kota, pengelolaan keuangan sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana desentralisasi secara transparan, ekonomis, efisien, efektif, dan akuntabel. Diberlakukannya Undang-undang ini memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah.

Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemda, Pempus akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari dana bagi hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemda untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan dana bagi hasil dan macam-macam pembagiannya?

2.      Apa yang dimaksud dengan dana alokasi umum?

3.      Apa yang dimaksud dengan dana alokasi khusus?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui apa itu dana bagi hasil dan macam-macam pembagiannya

2.      Untuk mengetahu apa itu dana alokasi umum

3.      Untuk mengetahui apa itu dana alokasi khusus

BAB II

SISTEM DANA PERIMBANGAN

 

Penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat masih mendominasi penerimaan daerah. Dana perimbangan ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu:

1.      Dana bagi hasil

2.      Dana alokasi umum

3.      Dana alokasi khusus

Untuk beberapa pemerintah daerah masih akan mendapatkan Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus. Dari beberapa jenis dana perimbangan tersebut sebenarnya dapat dipilah antara jenis dana perimbangan yang bisa dikendalikan daerah dengan yang tidak dapat dikendalikan.

Menurut Kementrian Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Dana Bagi Hasil (DBH), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.[1]

A.    Dana Bagi Hasil

Pemerintah daerah masih dapat mengotimalkan penerimaan dana perimbangan melalui dana bagi hasil. Dana bagi hasil pada dasarnya terdiri atas dua jenis, yaitu bagi hasil pajak (tax sharing) dan bagi hasil sumber daya alam (natural resource sharing).

a.       Dana bagi hasil pajak meliputi:

1.      Bagi hasil dari pajak bumi dan bangunan (PBB)

2.      Bagi hasil dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)

3.      Bagi hasil dari pajak penghasilan pasal 25 dan 29 serta PPh wajib pajak orang pribadi pasal 21

 

b.      Dana bagi hasil sumber daya alam meliputi:

1.      Bagi hasil dari iuran hak penguasa hutan

2.      Bagi hasil dari provit sumber daya hutan

3.      Bagi hasil dari dana reboisasi

4.      Bagi hasil dari iuran tetap (land rent)

5.      Bagi hasil dari iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti)

6.      Bagi hasil dari pungutan pengusahaan perikanan

7.      Bagi hasil dari pungutan hasil perikanan

8.      Bagi hasil dari pertambangan minyak bumi

9.      Bagi hasil dari pertambangan gas bumi

10.  Bagi hasil dari pertambangan panas bumi

11.  Bagi hasil dari pertambangan umum

c.       Bagi hasil PBB dan BPHTB

Berdasarkan hasil UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, PBB dan BPHTB merupakan pajak daerah. Namun untuk PBB yang menjadi pajak daerah hanya PBB pedesaan dan perkotaan, sedangkan PBB perkebunan, kehutanan dan pertambangan masih sebagai pajak pusat yang mengutamakannya bisa melibatkan pemerintah daerah. Karena PBB dan BPHTB berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 telah diteteapkan sebagai pajak daerah, maka pemerintah daerah perlu mengoptimalkan penerimaan PBB BPHTB.

Beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk meningkatkan penerimaan PBB dan BPHTB antara lain:

1.      Melakukan penilaian kembali (appraisal) terhadap objek pajak PBB untuk menentukan nilai jual objek pajak (NJOP) yang mendekati pasar

2.      Melibatkan pihak kelurahan, RW, RT daalam pendataan dan pendistribusian surat ketetapan pajak PBB

3.      Memperbaiki administrasi pajak dan menciptakan kemudahan bagi wajib pajak dalam membayar pajak

4.      Memperbaiki sisitem basis data PBB

d.      Bagi hasil sumber daya alam

Bagi hasil SDA pada umumnya lebih bersifat fluktuatif dan berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Untuk daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam tertentu akan memperoleh bagi hasil SDA yang besar, seperti kalimantan timur, bontang, riau, bengkalis, dan sebagainya. Terkait dengan eksploitasi SDA ini pemerintah daerah perlu memanfaatkan penerimaan dari bagi hasil SDA tersebut dengan sebaik-baiknya terutama untuk SDA yang bersifat tidak terbarui. Ketika saat ini memanen hasil SDA, pemerintah daerah harus sudah memikirkan antisipasi dampak jangka panjangnya, yakni setelah SDA tersebut habis sehingga tidak mengasilkan pendapatan lagi dan bahkan meninggalkan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial.

Untuk SDA tambang, pemerintah daerah perlu memiliki konsep dan program konservasi alam untuk mengembalikan fungsi lahan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengembalikan bekas lahan tambang tersebut menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan. Tetapi untuk mengembalikan fungsi lahan sehingga mampu memberikan hasil yang optimal membutuhkan biaya dan waktu, sementara pendapatan dari SDA yang biasanya diperoleh sudah tidak ada lagi. Akibatnya keuangan daerah terancam mengalami defisit (financial distress). Oleh karena itu, perencanaan keuangan jangka panjang harus disiapkan sebab jika tidak maka daerah yang tadinya kaya dapat berubah menjadi miskin. Selain kembali ke sektor pertanian, pemerintah daerah juga perlu mulai memperkuat sektor jasa dan perdagangan. Kita bisa melihat bahwa singapura miskin dalam hal SDA tetapi unggul dalam sektor jasa dan perdagangan sehingga mampu menjadikan negara tersebut dalam jajaran negara maju.

Pada saat pemerintah daerah memanen hasil SDA yang tinggi hendaknya pada saat bersamaan pemerintah daerah banyak melakukan investasi, baik investasi infrastruktur maupun investasi sumber daya manusia. Semangat otonomi daeeah untuk meningkatkan kemandirian daerah tidak perlu dipahami dengan melakukan eksploitasi SDA tanpa memikirkan generasi mendatang. Konsep pembanguan berkesinambungan (sustainable development) dan pembangunan berwawasan lingkungan harus dipegang. Di masa mendatang isu lingkungan akan semakin besar dan hal ini tentunya akan berdampak terhadap manajemen keuangan daerah.[2]

e.       PPH

Pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah pajak penghasilan yang terutang oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal  25 ayat (8). Pasal 25 ayat (8) ini mengatur mengenai pengenaan pajak bagi wajib pajak oarang pibadi yang bertolak ke luar negeri, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Peratuan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pemnbayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan Bertolak ke Luar Negeri.

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak oramg pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Umdang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, termasuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dan setoran akhir tahun.

Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan di atas kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomoer 33 Tahun 2004. Semula Dana Bagi Hasil yang hanya meliputi PBB dan BPHTB ditambah dengan PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (2) huru c UU Nomor 33 Tahun 2004. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.

Pasal 1 butir 13 Peraturan Pemertintah Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa Pajak Penghasilan Pasal 25 sdan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilam yang berlaku kecuali pajak aytas penghasilan sebagaimana diatu dalam Pasal 25 ayat (8). Sementara itu, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) menurut Pasal 1 butir 14 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 adalah Pajak atas Penghasilan berupa gaji, upah, hononarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku.

a)      Pembagian Penerimaan PPh Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

Sebelum ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, semula pembagian penerimaan PPh Orang Pribadi Dalam Neegeri dan PPh Pasal 21 didsarkan pada Pasal 31 C UU Pajak Penghasilan. Sesuai ketentuan ini, penerimaan negara dari pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri dan pajak penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak terdaftar.

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 31 C tersebut telah ditetapkan peraturan pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang Pembagian Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PP ini dikeluarkan dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih luas sehingga diberlakukan adanya keselarasan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pembagian hasil penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 antarapemerintah pusat dan pemerintah daerah dikaitkan dengan tempat wajib pajak terdaftar karena terdapat hubungan yang kuat dengan daerah tempat wajib pajak memperoleh penghasilan. Pada umumnya wajib pajak orang pribadi dalam negeri terdaftar berdasarkan tempat tinggal (domisili), tempat usaha, tempat kegiatan atau pelaksanaan pekerjaan (lokasi).

Bagian penerimaan pemerintah daerah sebesar 20% dibagi antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan imbangan:

1.      40% Untuk daerah Provinsi;

2.      60% Untuk daerah Kanbupaten/kota

Pengalokaian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah kabupaten/kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan pertimbangan faktor-faktor jumlah penduduk, luas wilayah, serta faktor-faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.

Bagian penerimaan pemerintah daerah tersebut di atas merupakan pendepatan daerah untuk masing-masing daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan setiap tahun anggaran dicantumkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001 tentang Pelaksanaan Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6 /KMK.04/2001 ini diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001 tentang Pelaksanaan Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Namun demikian, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

b)      Mekanisme Penyaluran

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 tahun anggaran 2007, Dirjen Perimbangan keungan menerbitkan SK tentang permintaan transfer dana bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 tahun anggaran 2007 untuk masing-masing daerah.

Permintaan transfer tersebut di atas disampaikan Dirjen Perimbangan Keuangan kepada Dirjen Perbendaharaan sebagai dasar pelaksanaan transfer sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dilaksanakan secara triwulan.

Tata cara penyesuaian atas penghitungan kelebihan Dana Bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 untuk tahun anggaran berikutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keungan tersendiri. Selanjutnya, penetapan alokasi definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 tahun anggaran 2007 akan ditetapkan dalam Permen Keuangan tersendiri.

 

B.     Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi, kabupaten atau kota. Namun, daerah kabupaten atau kota yang ada di wilayah provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi provinsi DKI Jakarta diletakkan pada ruang lingkup provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.[3]

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal horizontal dan untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah. [4]

Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. Perubahan dalam undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 menegaskan kembali tentang formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil dan sebaliknya. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.[5]

 

a.       Penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU)

Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Jumlah 26% ini merupakan jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan kabupaten atau kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten atau kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten atau kota. Dalam hal penentuan proporsi DAU antara DAU provinsi dan kabupaten atau kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan setiap tahun dan bersifat final.

Pemerintah merumuskan formula dan perhitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebiajkan otonomi daerah. DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan formula dan perhitungan DAU kepada Presiden sebelum penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Perhitungan DAU dilakukan dengan menggunakan formula yang dirumuskan oleh Menteri Keuangan.

DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21).[6]

Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Layanan dasar publik yang dimaksud adalah penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut berdasarkan:

1.      Jumlah Penduduk, merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik disetiap daerah.

2.      Luas Wilayah, merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana persatuan wilayah. Luas wilayah ini merupakan luas wilayah daratan.

3.      Indeks Kemahalan Konstruksi, merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antardaerah.

4.      Produk Domestik Regional Bruto Perkapita, merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah.

5.      Indeks Pembangunan Manusia, merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan.

Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-rata nasional. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Berdasarkan uraian di atas, alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula berikut ini.

DAU = CF + AD

Ket:

DAU= Dana Alokasi Umum

CF= Celah Fiskal

AD= Alokasi Dasar

CF= Kebutuhan Fiskal-Kapasitas Fiskal

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.

DAU Provinsi = Bobot Provinsi X DAU Provinsi

Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.[7]

b.      Alokasi DAU untuk Daerah Pemekaran

DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan setelah tersedian data mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan, kontruksi, produk domestik regional bruto perkapita, dan indeks pembangunan manusia. Jika data ini tidak tersedia, penghitungan DAU dilakukan dengan membagi secara proporsional dengan daerah induk. Penghitungan dengan membagi secara proporsional dengan daerah induk ini menggunakan data jumlah penduduk, luas wilayah, dan bealnja pegawai.

c.       DAU Tambahan

Telah ditetapkan dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi ke daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi 130% dari penetapan dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN perubahan melebihi 130%, selisih penerimaan negara dan minyak bumi dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU.

Dalam Pasal 31 PP 55 Tahun 2005, dialokasikan sebagai DAU tambahan. DAU tambahan dialokasikan kepada daerah berdasarkan formula DAU atas dasar celah fiskal. Pengalokasian DAU tambahan menggunakan formula DAU dan data penghitungan DAU tahun anggaran berjalan.[8]

d.      Penetapan Alokasi dan Penyaluran DAU

Alokasi DAU perdaerah ditetapkan dengan peraturan Presiden. Alokasi DAU tambahan ditetapkan dengan pereaturan Menteri Keuangan. DAU disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan mesing-masing sebesar 1/12 dari alokasi DAU daerah yang bersangkutan tata cara penyaluran DAU diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan.

Penyaluran dana alokasi umum kepada masing-masing kas daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala. Dalam rangka pencairan atau penyaluran dana alokasi umum tahun anggaran 2007. Alokasi DAU Tahun Anggaran 2007 untuk masing-masing pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota ditetapkan didalam Daftar isian Pelaksanaan Anggaran Dana Alokasi Umum (DIPA DAU), sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam peraturan presiden Nomor 104 tahun 2006 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota tahun anggaran 2007. DIPA DAU tersebut merupakan dokumenpelaksanaan anggaran yang disahkan oleh Direktur Jendral Anggaran atas nama Menteri keuangan yang berlaku satu tahun anggaran dan berfungsi sebagai dasar pelaksanaan pencairan DAU. Dana yang tercantum dalam DIPA DAU merupakan batas tertinggi yang tidak boleh terlampaui.

e.       Dana Penyesuaian 2007

Dana penyesuaian tahun 2007 untuk daerah provinsi, kabupaten, dan kota telah dialokasikan dalam undang-undang Nomor 18 tahun 2006 tentang Anggaran pendapatan dan belanja Negara Tahun 2007. Dalam rangka penetapan rinciannya Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan 129/PMK.07/2006 tentang penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun 2007 kepada Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota.

Dana penyesuaian yang dialokasikan kepada daerah provinsi, kabupaten, dan kota terdiri dari:

a.       Dana penyesuaian Dana Alokasi Umum (DAU)

b.      Dana penyesuaian infrastruktur jalan, dan lainnya.

Dana penyesuaian DAU dialokasikan kepada daerah provinsi yang menerima alokasi DAU tahun2007 lebih rendah dari pada penerimaan DAU ditambah dana penyesuaian murni tahun 2005 dan kepada daerah yang menerima alokasi DAU tahun 2007 lebih rendah dari pada penerimaan DAU tahun 2006. Dana penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya dialokasikan kepada daerah tertentu yang memenuhi kriterian yang ditetapkan oleh Panitia Anggaran DPR RI. Dana penyesuaian tersebut diatas merupakan bagian dari pendapatan daerah dan dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2007 pada kelompok lain-lain pendapatan yang sah. Dana penyesuaian merupakan satu kesatuan dengan alokasi DAU tahun 2007. Penggunaan dana penyesuaian DAU menjadi wewenang daerah sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Dana penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya digunakan untuk penyediaan sarana dan prasarana fisik infrastrujtur jalan dan lainnya, meliputi prasarana pemerintahan, irigasi dan pengairan, pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan, dan perikanan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Penyaluran dana penyesuaian DAU kepada masing-masing daerah penerima dilakukan setiap bulan, sebesar 1/12 dari pagi bersamaan dengan penyaluran DAU penetapan dana penyesuaian hanya berlaku untuk tahun 2007.  

Dana penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya merupakan dana yang bersumber dari dana penyesuaian pada anggaran belanja untuk daerah dalam APBN tahun anggaran 2007. Dana ini merupakan bagian dari pendapatan daerah dan dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2007. Alokasi dana penyesuaian infrastruktur dalan dan lainnya tahun 2007 adalah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.07/2006 tentang Penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun 2007 kepada Daerah provinsi, Kabupaten dan Kota.[9]

C.    Dana Alokasi Khusus

a.       Dasar Hukum

1.      Pasal 38 s.d 42 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

2.      Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

3.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 /PMK/.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2007

4.      Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-01/PB/2007 tentang Petunjuk Teknis Pengesahan dan Pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun Anggaran 2007. [10]

b.      Pengertian Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.[11] Daerah yang memperoleh dana alokasi  ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Maksud dari dana alokasi khusus yaitu untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional sesuai dengan fungsinya, khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan dengan fungsi yang ditetapkan dalam APBN.

Kegiatan utama yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu kegiatan pembangunan, pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang Panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.

Dana alokasi khusus ditetapkan setiap tahunnya dan diberikan kepada daerah tertentu yang memenuhi kriteria. Fungsi dalam rincian belanja negara antara lain, layanan umum, pertahanan, ketertiban dan kemanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial.

 

 

c.       Penetapan Alokasi dan Penggunaan DAK

Dana alokasi per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lambat dua minggu setelah UU APBN dtetapkan, pelaksanaanya di koordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Daerah yang menerima dana alokasi khusus wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK di dalam APBD. Penggunaan DAK dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis penggunaan DAK. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan bisnis.

1.      Penganggaran di Daerah

Daerah yang menerima DAK wajib menganggarkan dana pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari besaran alokasi DAK yang di terima. Dana pendamping diganakan untuk kegiatan yang bersifat fisik yang dimaksud yaitu kegiatan di luar kegiatan administrasi proyek, kegiatan penyiapan proyek fisik, kegiatan penelitian, kegiatan pelatihan, kegiatan perjalanan pegawai daerah, dan kegiatan umum lain yang sejenis.

2.      Penyaluran DAK

DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah.

3.      Pelaporan

Kepala daerah menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada:

1)      Menteri Keuangan

2)      Menteri Teknis; dan

3)      Menteri Dalam Negeri.

Format laporan diatur lebih lanjut oleh Menteri terkait.

Penyampaian laporan triwulan tersebut dilakukan selambat-lambatnya empat belas hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. Penyaluran DAK dapat ditunda apabila daerah tidak menyampaikan laporan. Mekanisme penundaan penyaluran DAK diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Menteri teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri. [12]

4.      Pemantauan dan Evaluasi

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan Menteri teknis untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang di danai dari DAK.

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Penganggaran dana pusat dan daerah sudah terbentuk dengan sistem perimbangan dana dan UU yang berlaku. Dengan adanya disentralisasi daerah anggaran diberikan lebih teratur. Sistem dana perimbangan terbagi menjadi tiga, yang pertama dana bagi hasil disusun berdasarkan presentase kebutuhan daerah, misalnya dana bagi hasil pajak yang terdiri PBB, BPHTB dan PPH. Sedangkan dana bagi hasil SDA biasanya meliputi daerah-daeeah yang memiliki kekayaan alam berlebih, seperti kalimantan. Namun daerah tidak sepenuhnya mendapatkan pajak tersebut, presentase pembagian dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Meliputi pemberdayaan lahan sehabis pertambangan, dll. Kedua, dana alokasi umum pembagiannya berdasarkan keadaan fiskal di suatu daerah. Secara umum DAU disesuaikan dengan kebutuhan fiskalnya permasing-masing daerah. Ketiga yaitu dana alokasi khusus dissusun sesuai kebutuhan priorita nasional, dengan kata lain kegiatan khusus atau projek khusus. Pertanggung jawaban DAK diberikan daerah ke menteri keuangan dan dalam negeri.

 

B.     SARAN

Dengan adanya pengimbangan dana diharapkan sistem disentralisasi berjalan sesuai kebutuhan daerah dan lingkungan masyarakat. Transparansi dari pusat dan daerah juga diperlukan sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah daerah ke pusat.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-saja-jenis-jenis-dana-perimbangan

Journal Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke daerah

 

Mahmudi. Manejemen Keuangan Daerah. (Jakarta: Erlangga). 2010.

 

Yani Ahmad. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada). 2002.

 

Yani Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers). 2009.



[1] Website KEMENKEU: http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-saja-jenis-jenis-dana-perimbangan, diakses pukul 17.00 WIB tanggal 17/03/2020

[2] Mahmudi, Manejemen Keuangan Daerah, (Jakarta, Erlangga, 2010), Hal. 27.

[3] Yani Ahmad, Hubungan Keuangan antara Peme

rintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada 2002), Hal.142.

[4] Journal Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke daerah

[5] Ibid. Hal 142

[6] Ibid. Hal 144

[7] Ibid. Hal 145

[8] Ibid. Hal 151

[9] Ibid. Hal 159

[10] Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Hal 168

[11] Ibid, hal 165

[12] Ibid, hal 171