Friday, October 23, 2020

PENGERTIAN DAN ASPEK-ASPEK ILMU KALAM


PENGERTIAN, ASPEK-ASPEK ILMU KALAM


BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau akidah dan syariah yaitu sesuatu amaliah atau yang diamalkan. Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT. berupa Al-Quran dan Al-Hadits yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yang berintikan keimanan dan perbuatan. Keimanan dalam agama Islam merupakan dasar atau pondasi, yang diatasnya berdiri syariat Islam, dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Pembahasan ilmu kalam dalam aspek-aspek kehidupan dihadapkan pada berbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran besar yang semuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat dijumpai hampir di seluruh dunia. Dalam setiap aspek-aspek kehidupan yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persoalan di bidang politik, hal ini didasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persoalan pertama ini ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam segi aplikasi dan penerapannya.

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:

1.      Apa pengertian dan tujuan ilmu kalam?

2.      Bagaimana latar belakang lahirnya ilmu kalam?

3.      Apa saja aspek-aspek ilmu kalam?

4.      Bagaimana aliran-aliran dan paham dalam ilmu kalam?

C.     Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk:

1.      Mengetahui pengertian dan tujuan ilmu kalam.

2.      Mengetahui latar belakang lahirnya ilmu kalam.

3.      Mengetahui aspek-aspek ilmu kalam.

4.      Mengetahui aliran-aliran dan paham dalam ilmu kalam.

BAB 2

PEMBAHASAN

 

A.     Pengertian dan Tujuan Ilmu Kalam

Ilmu kalam memiliki kedudukan yang penting dalam pembahasan pemikiran Islam. Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi berpendapat, bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan aliran golongan Salaf (orang terdahulu yang membuat orang-orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran dari mereka) dan Ahli Sunah.[1] Ilmu kalam mempergunakan metode penalaran dalam menetapkan kebenaran ajaran akidah yang telah digariskan dalam wahyu Allah seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits.

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu (theologie atau theology) yang terdiri dari kata teo atau theos yang berarti Tuhan atau dewa, dan logi atau logos yang artinya ilmu atau pengetahuan (science, studi, discourse), paham atau pembicaraan. Sehingga teologi adalah paham atau pengetahuan tentang Tuhan. Adapun pengertian teologi secara terminologi, Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang artinya pemikiran tentang tuhan. Gove juga mengatakan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. Teologi dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan Tuhan meliputi sifat-sifat-Nya, wujud-Nya yang berkaitan erat dengan alam dan manusia. Jadi, pengertian ilmu kalam dengan teologi pada dasarnya sama yang membedakan hanyalah pemakaian bahasa. Dalam konteks islam, teologi islam sering diidentikkan dengan sebutan ilmu kalam.[2]

Ilmu kalam bukan hanya terbatas pada sejumlah firman Allah yang mengandung berbagai pengertian yang selanjutnya menimbulkan perbedaan di kalangan para ahli, seperti wajhullah, yadullah, dan sebagainya. Di kalangan para ahli ada yang mengartikannya wajhullah sebagai muka Allah SWT, walaupun muka-Nya berbeda dengan muka makhluk ciptaan-Nya. Demikian pula dengan kata yadullah, di kalangan para ahli ada yang mengartikannya sebagai tangan Allah SWT, walaupun tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk-Nya, dan ada pula yang mengartikan kekuasaan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang menggambarkan bahwa manusia sepenuhnya tunduk pada Tuhan, dan di satu pihak ada ayat-ayat yang menggambarkan bahwa manusia dapat melakukan perbuatannya dan bertanggung jawab pada Tuhan.[3]

Selain ilmu kalam mengandung arti ilmu yang berisi hal-hal yang diperdebatkan dalam hubungannya dengan Tuhan, juga terdapat sejumlah masalah lain yang diperdebatkan. Dalam hubungan ini, Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah mengatakan sebagai berikut:

“Bahwa adanya permasalahan yang diperdebatkan dalam ilmu kalam ini tidak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat inti dari ajaran agama. Perdebatan dalam ilmu kalam itu tidak menyentuh tentang keesaan Allah, tidak pula membicarakan pengakuan terhadap kerasulan Muhammad SAW, tidak pula mempersoalkan tentang diturunkannya Al-Qur’an dari Allah SWT yang merupakan mukjizat Nabi terbesar, dan tidak pula membicarakan tentang kemutawatiran Al-Qur’an yang disampaikan setahap demi setahap dengan jelas, dan tidak pula membicarakan hal-hal yang pokok dalam agama, seperti shalat lima waktu, zakat, haji, dan puasa, dan tidak pula mempersoalkan tentang cara-cara mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, dan tidak pula mempersoalkan hal-hal agama yang di dalamnya tidak ada perbedaan, dan tidak pula memperdebatkan hal-hal yang sudah sangat maklum dalam agama, seperti haramnya khamar, daging babi, memakan bangkai, dan ketentuan-ketentuan umum dalam hal warisan. Hal-hal yang diperdebatkan dalam ilmu kalam adalah masalah-masalah yang tidak termasuk dalam masalah yang bersifat utama dan hal-hal yang bersifat pokok pada umumnya.”

Dengan demikian, hal-hal yang menjadi wilayah perdebatan atau pertentangan di kalangan para ulama kalam, bukanlah masalah-masalah yang bersifat rukun atau pilar utama, melainkan hal-hal yang sifatnya cabang (furu’) yang sama sekali tidak akan mengganggu keimanan dan keislaman seseorang. Hal ini penting dikemukakan, karena di kalangan umat islam masih ada yang takut tergelincir keimanannya jika mempelajari ilmu kalam.[4]

Dilihat dari segi kandungan, peran dan fungsinya, ilmu kalam ini juga dinamakan ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak menyekutukan-Nya, dengan tujuan menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Ialah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini. Karena dengan ilmu kalam inilah seseorang dapat menyakini keadaan Tuhan serta berbagai hal yang terkait dengannya dengan sangat meyakinkan.

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS. Muhammad (47) : 19)[5]

Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa setiap manusia diperintahkan agar mengenal Tuhannya dengan cara mempelajari ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu kalam. Ibn Ruslan berpendapat bahwa “Yang pertama diwajibkan kepada manusia adalah mengetahui Allah dengan cara yang sangat meyakinkan.”[6]

B.      Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam

Terdapat sejumlah teori yang digunakan para ahli untuk menjelaskan latar belakang lahirnya ilmu kalam :

Pertama, teori politik. Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ’Utsman bin Affan’ yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, persoalan politik tersebut tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan dengan arbitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam merupakan persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, tetapi penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal politik, melainkan soal teologi. Dengan demikian, menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadhariyah, dan Jabariyah.

Kedua, teori internal dan eksternal. Secara internal, Al-Qur’an sendiri disamping ajakannya kepada tauhid dan memercayai kenadian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan yang tidak benar. Menghadapi berbagai pandangan dan pemikiran golongan pada masa tersebut, Tuhan memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai argumen dengan cara yang bijak dan santun. Kemudian, muncul pembicaraan dan kajian tentang masalah agama juga sejalan dengan semakin tumbuhnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, yang memungkinkan ia memiliki peluang dan kesempatan untuk mendiskusikan masalah agama. Kondisi ini biasanya terjadi pada masyarakat kota yang keadaan ekonominya sudah mapan dan sejahtera. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika gerakan pemikiran keagamaan itu pada umumnya muncul di daerah perkotaan atau wilayah yang sudah sejahtera.[7]

Adapun faktor eksternal yang menyebabkan lahirnya ilmu kalam, pemikiran-pemikiran teologi tidak hanya bersifat dialektif, artinya tidak lagi memperpanjang perdebatan dengan menggunakan argumentasi masing-masing, sehingga mengklaim golongan lain salah dan menganggap dirinya yang benar. Pada masa itu tumbuh kesadaran bahwa hal itu akan menjadikan umat islam terpecah belah. Inilah yang selanjutnya menjadi salah satu faktor diperlukannya ilmu kalam.[8]

C.     Aspek-Aspek Ilmu Kalam

Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang di hasilkan oleh aliran Kalam, memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Secara garis besar, titik kelemahan ilmu Kalam yang menjadi sorotan berputar pada tiga aspek berikut ini:

1.      Aspek Ontologi

Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu on atau ontos yang berarti ada, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Pada ilmu kalam masalah-masalah yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya yang jauh dari persoalan kehidupan manusia. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.

2.      Aspek Epistimologi

Epistimologi berasal dari bahasa yunani, episteme yang berarti pengetahuan, dan logos artinya ilmu. Pada ilmu kalam epistimologi merupakan cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an.

3.      Aspek Aksiologi

Aksiologi berasal dari bahasa yunani, yaitu axion yang berarti nilai, dan logos yang artinya ilmu atau teori, yang berarti teori tentang nilai. Pada ilmu kalam ini menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkapi hakikat kebenaran yang terjadi dalam realita-realita kehidupan yang tidak terlepas oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi berdasarkan perkembangan jaman.[9]

D.     Aliran-Aliran dan Paham dalam Ilmu Kalam

Dalam ilmu kalam terdapat berbagai aliran. Yaitu, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Ma’turidiyah, Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, dan Syi’ah. Masing-masing aliran ini memiliki paham teologi yang berbeda antara satu dan lainnya, dengan penjelasannya secara singkat sebagai berikut:

1.      Aliran khawarij

Secara harfiah, khawarij berasal dari kata khraja yang berarti keluar. Nama ini diberikan kepada mereka karena mereka luar dari barisan Ali. (Abdur Razaq dan Rosihan Anwar, ilmu  kalam, Cet II, h.14). Adapun menurut istilah, khawarij adalah para pengikut Ali bin Abithalib yang meninggalkan kelompoknya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagaai jalan untuk menyelesaikan persengketaan Khalifah dengan Muawiyah bin Abi bin Sufyan.

Pemimpin aliran khawarij ini yang pertama adalah Abdullah bin Wahabe Al-Rasidi yang dianggap sebagai ganti dari ali Bin Abi Thalib. Aliran ini selanjutnya terbagi kepada berbagai macam sekte. Diantaranya Al-Muhakkimah, al-Ajaridah, al-Suftriah, dan al-Ibadiah.

Al-Muhakimmah berasal dari pengikut Ali yang keluar dari barisan Ali, atau khawarij yang pertama, yang menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase, dan juga setiap orang yang berbuat dosa besarsebagai yang bersalah yang menjadi kafir. Demikian pula orang yang berbuat zina, membunuh manusia tanpa sebab yang sah, dianggap keluar dari islam dan menjadi kafir.

Al-Ajaridah adalah aliran khawarij pengikut Abd. al-Karim bin Ajrad. Mereka berpendapat, bahwa berhijrah bagi seorang penganut khawarij ini bukanlah merupakan kewajiban sebagaimana yang diajarkan al-Azraq dan al-Najedah, melainkan hanya merupakan kebajikan dengan demikian kaum Azarikah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dan tidak dianggap kafir. Disamping itu, harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Sedangkan paham al–Azarikah menganggap bahwa seluruh harta musuh boleh dijadikan rampasan perang. Kaum Ajaridah ini selanjutnya terpecah belah lagi menjadi golongan kecil. Diantaranya adalah golongan al-Maymuniah yang menganut pahan kadariah, al-hamziah yang juga mempunyai paham kadariah, serta golongan al-Syu’aidiah dan al-Hazimiah yang menganut paham jabariah.

Adapun al-Suftriah adalah golongan khawarij yang mempunyai paham dekat dengan golongan al-Azarikah, sebagaimana terlihat pada pendapatnya, yaitu orang yang melakuan dosa besar tidak perlu dikafirkan. Dalam paham mereka, pelaku dosa besar dibagi menjadi dua macam: ada dosa besar yang memiliki sanksi di dunia, seperti berbuat zinah dan membunuh, dan dosa besar yang tidak ada sanksi nya di dunia, seperti menggalkan shalat dan puasanya. Yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar jenis yang kedua. Anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan. Daerah golongan islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak dianggap sebagai daerah yang harus diperangi, melainkan yang diperangi hanyalah pusat pemerintahan. Kufur mereka bagi menjadi 2 yaitu kufr bi inkar al-ni’mah (mengingkari rahmat Tuhan) dan kufr bi ingkar al-rububiah (mengingkari Tuhan), dengan demikian kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari islam.[10]

Adapun al-Ibadiah merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij. Namanya diambil setelah memisahkan diri dari golongan al-Azarikah. Hal ini dapat dilihat dari pahamnya yaitu orang islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir. Dengan orang islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan warisan, syahadat mereka dapat diterima, dan membunuh mereka haram. Daerah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka merupakan daerah yang harus diperangi, hanyalah pemerintah, kecuali daerah pemerintah yang mengesakan Tuhan dan tak boleh diperangi. Dan yang terakhir sederhananya muslim pelaku dosa besartidak keluar dari islam. Selain itu, kaum khawarij secara umum memiliki pandangan politik dan ketatanegaraan. Para pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari island an oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan. Mereka juga memiliki paham demokratis yang dapat menjadi khalifah bisa siapa saja yang berasal dari orang islam, sekalipun hamba sahaya yang memiliki kesanggupan, bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Tetapi jika ia menyeleweng dari ajaran islam, ia wajib dijatuhkan atau dibunuh.

Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang arab badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuatmereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Iman dalam paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik, dengan sikap fanatic ini membuat mereka tidak dapat menoleransi penyimpangan terhadap ajaran islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil. Dengan sikap dan karakter tersebut, maka mudah dimengerti jika kaum khawarij mudah terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil dan selalu mengadakan perlawanan terhadap penguasa, atau bersikap keras terhadap orang yang tidak sepaham, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.[11]  

2.      Aliran Murjiah

Secara harfiah, Murjiah berasal dari kata rajaa, yang berarti mengembalikan kepada Tuhan, dan arja'a yang berarti menunda. Secara politik, kaum Murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang bertentangan atau dianggap kafir itu kepada Tuhan.[12]

Berkaitan dengan dosa besar oleh kaum Khawarij dianggap kafir, namun oleh kaum Murjiah masih dianggap mukmin. Bagi mereka bahwa orang Islam yang berdosa besar itu mengakui, bahwa tidak ada tuhan selain allah dan bahwa nabi Muhammad saw adalah Rasul-Nya. Oleh Karena itu, orang yang berdosa besar menurut kaum murjiah, masih dianggap mukmin bukan kafir.dengan demikian, bagi golongan ini yang terpenting dan diutamakan pada seorang mukmin adalah iman nya dan bukan perbuatan nya, atau dengan kata lain bahwa perbuatan tidak memengaruhi keimanan seseorang. Seseorang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh, berzina, durhaka kepada kedua orang tua, masih dianggap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa nya terserah kepada tuhan, mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Sikap yang menunda keputusan bagi orang yang berdosa kepada tuhan di akhirat itulah yang menjadi pangkal kelompok  tersebut dinamakan kaum murjiah, yakni kaum yang menunda keputusan. Selain mengandung arti menunda, kaum Murji’ah juga mengandung arti kaum yang memberi harapan bagi orang yang berbuat dosa besar. Harapan ialah bahwa orang yang berbuat dosa besar tersebut masih ada harapan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Tuhan, sehingga ia bisa masuk surga.

Kaum Murji’ah terpecah kepada beberapa golongan, yang secara umum terdiri dari golongan yang moderat dan eksterm. Golongan Murji’ah yang moderat berpendapat, bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, da nada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, dan oleh karena itu mereka tidak masuk neraka sama sekali. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), dan Abu Yusuf. Iman semua orang Islam dianggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah. Bagi mereka iman tidak mempunyai sifat bertambah dengan perbuatan yang baik, dan tidak punya sifat berkurang karena perbuatan dosa.

Kaum Murji’ah yang eksterm dengan tokohnya Al Jahmiah serta para pengikutnya berpendapat, bahwa orng Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menatakan kekhufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan khufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dalam tubuh manusia. Ajaran Murji’ah eksterm sebagaimana dikemukakan Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral letitut yaitu, sikap memperlemah ikatan moral. Karena menurut golongan ini yang dipentingkan hanyalah iman, adapun norma-norma akhlak dapat dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian.

Paham Murji’ah yang moderat tersebut selanjutnya memiliki kesamaan dengan sebagian paham yang dianut kaum Asy’ariah. Menurut Asy’ariah, bahwa iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran rasul-rasul serta segala apa yang mereka bawa. Paham aliran Murji’ah di masyarakat juga ada baiknya, karena aliran ini sangat mementingkan kehormatan, kebaikan terhadap sesama manusia. Di sisi lain, aliran ini juga ada negatifnya yaitu masalah keimanan seseorang. Karena menurut mereka iman hanyalah meyakini dalam hati saja. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.[13]

3.      Aliran Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya menjauhkan atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran teologi islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio didalam membahas persoalan-persoalan ketuhanan. Kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga diberi gelar kaum Rasionalis Islam dan dikenal dengan nama Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil bin Atha. Washil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan : “Saya berpendapat, bahwa orang yang berdosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak pula kafir.”

Ajaran pokok aliran Mu’tazilah dikenal dengan nama Panca ajaran atau Pancasila Mu’tazilah, yaitu:

a.       Al-Tauhid. Secara harfiah, al- tauhid berarti mengesakan Tuhan, atau meyakini sungguh-sungguh bahwa Tuhan hanya satu saja. Tuhan dalam paham mereka akan benar-benar Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Paham ini selanjutnya mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap Maha tau, Maha kuasa, Maha hidup, Maha mendengar, Maha melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Dengan kata lain, sifat-sifat ini merupakan esensi Tuhan.[14]

b.      Al-‘Adl. Secara harfiah, al-‘adl artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u syai fi mahallihi). Bagi kaum mu’tazilah, hanya Tuhan lah yang berbuat adil, Tuhan tidak berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan demikian, Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap zalim, tidak menyiksa anak-anak orang polities lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta, tidak memberi bebanyang tidak dapat dipikul manusia (al-taklif maa laa yuthaq). Adapun Tuhan bersifat Maha sempurna. Sehubungan dengan paham Al-‘Adl ini, Tuhan menurut kaum mu’tazilah wajib untuk mendatangkan yang baik, bahkan ynag terbaik untuk manusia. Dengan demikian, Tuhan berkewajiban umpamanya mengirim Rasul atau Nabi untuk membawa petunjuk bagi manusia. Menurut paham ini, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan. Segala perbuatannya telah ditentukan dari semenjak azal. Dengan kata lain, kalau seseorang melakukan perbuatan buruk, itu ia lakukan bukan atas kemauannya sendiri tetapi ia lakukan karena terpaksa. Tuhan tidak dapat disebut adil, sekiranya Ia menghukum orang yang berbuat buruk bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan dari luar dirinya. Sehubungan dengan paham al- ‘adl ini, maka kaum mu’tazilah menganut paham itu qadariyah, yaitu bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia terjadi atas kehendak dan pilihan bebas manusia, dan bukan atas paksaan dari Tuhan.

c.       Al-Wa’d wa al-Wa’id. Secara harfiah, al-wa’d dan al-wa’id adalah janji kebaikan (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancaman keburukkan atau neraka bagi orang yang berbuat buruk. Paham ini merupakan lanjutan dari paham al-‘adl sebagaimana telah disebutkan selanjutnya. Keadilan menghendaki agar orang yang bersalah diberi hukuman, dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.

d.      Al-Manzilah bain al-manzilatain. Secara harfiah, al-Manzilah bain al-manzilatain adalah posisi menengah bagi orang yang berbuat dosa besar, serat erat hubungannya dengan paham keadilan Tuhan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Menurut kaum mu’tazilah, bahwa para pembuat dosa besar bukan lah kafir, tetapi bukan pula mukmin, karan imannya tidak sempurna. Karena bukan mukmin, maka ia tidak dapat masuk surga, dan Karena bukan pula kafir, maka ia tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Namun karena di akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa besar harus dimasukkan kedalam salah satu tempat ini.

e.       Amar ma’ruf nahi munkar. Secara harfiah, amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Perbedaan yang tedapat antara golongan itu adalah tentang pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan itu cukup dijanlakan dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan. Kaum Khawarij, sebagaimana dilihat memandang bahwa untuk itu perlu dengan kekerasan.[15]

4.      Aliran Ahl Al-Sunnah Wal-Jama’ah (Asy’Ariyah dan Maturidiah)

Beberapa tokoh yang memiliki ahl al-sunnah wal-jama’ah ini antara lain asy’ariyah dan maturidiah. Pemikiran dari kedua tokoh ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

a.       Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah aliran yang dinisbahkan kepada Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ari lahir di Bashar 873 M, dan wafat di Baghdad pada 935 M.[16] Setelah penikahan ibunya bersama seorang tokoh mu’tazilah, ayah tirinya Al-Asy’ari kemudian mendidiknya hingga beliau menjadi seorang tokoh mu’tazilah. Al-Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai berusia 40 tahun. Ada 2 faktor yang menjadi penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran mu’tazilah. Pertama, faktor subjektif, yaitu pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi dengan Rasulullah SAW, sebanyak 3 kali yaitu pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan ramadhan. Dalam 3 mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar menninggalkan paham mu’tazilah dan membela paham yang telah di riwayatkan beliau. Dan faktor yang kedua, karena Al-Asy’ari menganut madzhab syafi’i yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran-ajaran mu’tazilah. Sebagaimana dalam pernyataan al syafi’i bahwa Al-Qur’an adalah tidak diciptakan tetapi bersifat kodim dan Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.[17]

Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya untuk bekal dalam menjawab orang-orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah. Beberapa paham teologi yang dikemukakan Al-Asy’ari, antara lain :

1.       Paham tentang sifat. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat. Namun Al-Asy’ari berpendapat, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan.

2.       Paham tentang Al-Qur’an. Menurut Al-Asy’ari, Al-Qur’an bukanlah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan maka ia akan berantai tanpa kesudahan.

3.       Paham tentang Tuhan yang dapat dilihat di akhirat. Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mempercayai bahwa Allah bersemayan di ‘Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Menurut Al-Asy’ari karena Allah adalah wujud, maka Allah dapat dilihat.

4.       Paham tentang perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari bahwa perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat mu’tazilah tetapi diciptakan Tuhan. Perbuatan kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur ini sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian, yang mewujudkan perbuatan kufur ini bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya, dan Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk.

5.       Paham anthromorphism. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya. Dengan ditentukan bagaimana, yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan.

6.       Paham tentang keadilan Tuhan. Menurut pendapat Al-Asy’ari bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatupun yang wajib baginya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, maka dari itu ia juga tidak setuju dengan ajaran mu’tazilah tentang Al-wa’d wa al-wa’id.

7.       Paham tentang posisi menengah. Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[18]

b.      Maturidiah

Maturidiah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-maturidi. Ia lahir pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M di Samarkand dan meninggal ditahun 944 M. Aliran al-maturidiah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-asy’ariah. Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrinitas kaum rasionalis dimana yang berada di barisan paling depan adalah mu’tazilah.[19] Namun, antara paham teologi maturidiah dengan paham teologi al-asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah. Paham teologi maturidiah dapat dilihat sebagai berikut :

1.      Paham tentang sifat Tuhan. Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan pendapat antara Al-Asy’ari dengan al-maturidi.

2.      Paham tentang perbuatan manusia. Dalam hal ini, al-maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah yakni bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Dengan demikian, al-maturidi memiliki paham qadariah dan bukan paham jabariah.

3.      Paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurut al-maturidi kodrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

4.      Paham tentang Al-Qur’an. Al-maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari.

5.      Paham tentang orang mukmin yang berbuat dosa besar. Al-maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari. Karena perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

6.      Paham tentang keadilan Tuhan. Al-maturidi sependapat dengan kaum mu’tazilah. Bahwa janji-janji dan ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.

7.      Paham tentang anthropomorphism. Al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmaniah tak dapat diberi interpretasi.

Dengan demikian, al-maturidiah ini paham teologinya berada diantara mu’tazilah dan al-asy’ariah, namun lebih berpihak kepada paham al-asy’ari.

5.      Paham Jabariah dan Qadariah

Dalam berbagai buku teologi islam mungkin ditemukan pendapat yang mengategorikan qadariah dan jabariah sebagai aliran. Namun dalam tulisan ini, qadariah dan jabariah tidak dipandang sebagai aliran, melainkan dipandang sebagai paham.[20] Dalam paham Jabariah, manusia terikat pada kehendak mutlak Tuhan, perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar. Sedangkan dalam paham Qadariah, memberi penekanan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[21] Yang termasuk aliran hanyalah Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, dan Ahl sunnah wa al-jama’ah, yang terdiri dari Al-Asy’ariah dan Maturidiah. Adapun qadariah dan jabariah lebih dilihat sebagai paham yang dianut oleh aliran tersebut. Mu’tazilah misalnya memilih paham qadariah. Adapun Ahl sunnah wa al-jama’ah memilih paham jabariah, dan Al-maturidiah lebih menganut paham jabariah juga menganut paham qadariah, namun paham jabariahnya lebih kuat daripada qadariahnya, sehingga al-maturidi dikelompokkan sebagai Ahl sunnah wa al-jama’ah.

Bahwa Syi’ah yang oleh para peniliti sering dihadapkan dengan Ahl sunnah wa al-jama’ah tidak dimasukkan kedalam aliran ilmu kalam. Karena Syi’ah tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai aliran teologi, namun lebih merupakan aliran atau golongan dalam Islam yang memiliki pandangan bukan hanya dalam bidang teologi atau keagamaan, melainkan juga memiliki pandangan dalam bidang sosial, politik, hukum, dan lainnya.[22]

BAB 3

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Berbagai masalah yang diperdebatkan dalam Al-Qur’an, seperti paham tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan dalam hubungannya Jabariah dan Qadariah, paham tentang penciptaan Al-Qur’an, nasib dengan Tuhan sebagai pencipta yang melahirkan paham orang mukmin yang berdosa besar di akhirat dan meninggal dunia sebelum sempat bertobat, tentang hubungan iman dengan amal perbuatan, semua hal yang diperbincangan dalam ilmu kalam tidak berkaitan dengan masalah-masalah pokok dalam Islam. Masalah-masalah dalam teologi tersebut sama sekali tidak mempermasalahkan tentang keberadaan Tuhan YME, kerasulan Nabi Muhammad SAW, keberadaan Al-Qur’an sebagai firman Allah dan pedoman bagi kehidupan manusia, kewajiban melaksanakan ibadah, akhlak mulia, dan hal-hal lainnya yang bersifat pokok dalam agama. Oleh karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran berkurangnya iman karena mempelajari ilmu kalam ini.

Dalam ilmu kalam ini, argumentasi yang berdasarkan pada pemikiran lebih didahulukan daripada argumentasi yang berdasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dengan cara demikian, maka keimanan yang dimiliki seseorang akan memiliki landasan argumentasi yang kuat dan bukan keimanan ikut-ikutan. Argumentasi yang demikian itu sangat penting, terutama dalam kehidupan modern saat ini yang antara lain banyak dipengaruhi oleh berbagai pandangan yang dapat menggoyahkan keimanan seseorang. Namun, semua aliran teologi masih ada dalam Islam dan tidak ada yang keluar.

Paham-paham teologi tentu saja perlu diketahui sebagai sebuah pengetahuan, namun tidak perlu diamalkan, karena akan memengaruhi bagi timbulnya akhlak yang buruk. Namun demikian, mereka itu tetap berada dalam Islam atau tidak keluar dari Islam. Kepada mereka hanya dapat dikatakan sebagai orang muslim yang bersalah atau keliru, sehingga perlu diluruskan dan segera bertobat dari segala dosa. Dengan mempelajari berbagai pemikiran dan argumentasi yang dikemukakan para tokoh berbagai aliran tersebut, seseorang akan diajak bersikap kritis, cermat, mendalam dan komprehensif dalam melihat suatu masalah. Kemampuan umat Islam dalam berdebat dan berargumentasi dalam mempertahankan keyakinannya sangat diperlukan. Dengan sikap dan pandangan yang demikian itu, akan menjadi sebuah kekayaan yang akan semakin mendewasakan dan memperkaya wawasan dan pemikiran umat, maka akan terbangun kehidupan yang rukun, damai, tertib, dan harmoni.[23]

Daftar Pustaka

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018)

Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019)

 



[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 259.

[2] Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019), hlm. 205.

[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 261.

[4] Ibid, hlm. 261-263.

 

[5] http://www.quran30.net/2012/08/surat-muhammad-ayat-1-38.html, pada tanggal 21 September 2019 pukul 17.13.

[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 264.

[7] Ibid, hlm. 264-265.

[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 266.

[9] Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019), hlm. 207.

 

[10] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 266-268.

[11] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 268-269.

[12] Ibid, hlm. 270.

[13] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 270-271.

[14] Ibid, hlm. 272-273.

[15] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 273-275.

[16] Ibid, hlm. 276.

[17] Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019), hlm. 208.

 

[18] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 276-278.

[19] Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019), hlm. 209.

[20] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 282.

[21] Drs. H. Achmad Gholib, M.A., Studi Islam Kajian Multidisipliner, (Jakarta: Diaz Pratama Mulia, 2019), hlm. 209-210.

[22] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 283.

 

[23] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), cet.III, hlm. 280.

Wednesday, October 21, 2020

PENGERTIAN ONTOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN BARAT

 

PENGERTIAN ONTOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN BARAT


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

 

Untuk berbicara tentang ontologi pendidikan Islam. Kita terlebih dahulu harus memahami apa itu ontologi? dan apa itu pendidikan Islam? Berbicara tentang ontologi tentu kita tidak akan bisa melepaskan diri dari kajian filsafat hal ini lebih kepada adanya keterkaitan istilah ontologi dengan filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenaran. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaah keilmuaannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang yang ada universal, menampilkan pemikiraan semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus, ontologi menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

 

B.    Rumusan Masalah

1.         Pengertian Ontologi ?

2.         Apa saja aspek Ontologi Ilmu dalam Islam ?

3.         Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat ?  

 

C.   Tujuan

1.         Untuk mengetahui Pengertian Ontologi

2.         Untuk Mengetahui Aspek Ontologi dalam Islam

3.         Untuk Mengetahui Perbedaan Ontologi ilmu dalam Islam dan Barat

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian Ontologi

Ontologi berasal dari kata Onto yang berarti atas, dan logie yang berarti ilmu; Ontologi berarti atas ilmu. Adapun Ontologi dalam pengertian istilah diartikan sebagai hakikat apa yang dikaji. Jika yang dikaji itu alam jagat raya, maka ontologi tidak hanya membahasnya dari segi yang tampak, tetapi segi-segi yang tidak tampak, atau hakikatnya, hukum-hukum, isi, substansi, sifat, hikmah, kandungan, keistimewaan, kekurangan, dan kelebihan yang terdapat didalamnya. Sebagai sumber, ontologi harus menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan guna menyusun ilmu pengetahuan. Gunung misalnya disebut sumber daya alam (SDA) karena di gunung terdapat bahan-bahan bangunan, seperti: batu, pasir, kapur, semen, tembaga, perunggu, besi, platina, kayu, dan rotan.[1]

Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang ditinjau ulang. Dalam ilmu pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu pengatahuan bertugas menjawab pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi berarti berbicara tentang jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Louis O. Kattsoff menjelaskan tiga perspektif ontologi, yakni: naturalisme, materialisme, dan idealisme. Pertama, naturalisme. Paham ini memandang kejadian sebagai kategori pokok, artinya kejadian dipandang equivalent atau sama dengan kenyataan. Naturalisme sangat bergantung pada data yang terdapat dalam ruang dan waktu yang dapat dicermati melalui panca indra manusia. Pengembaraan yang mungkin dilakukan oleh akal di batasi oleh keterbatasan bekerjanya panca indra. Hal ini sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa data harus dapat diverivikasi secara empiris.

Kedua, Materialisme. Materialisme melihat bahwa yang terdalam adalah materi; kenyataan bersifat material. Kenyataan dalam pandangan materialisme adalah (1)“segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata dalam babak akhir berasal dari materi atau (2) berasal dari gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi.”

Menurut Kattsoff, naturalisme dan materialisme berpandangan bahwa pengertian materi hendaknya dibicarakan dalam bidang ilmu fisika dan tidak di ontologi keduanya mendasarkan diri pada hasil-hasil ilmu sebagai penopang dan menjunjung tinggi metode-metode ilmiah.

Ketiga, idealisme. Kattsoff mengilustrasikan bahwa “jika seseorang melakukan penelitian ia akan menyadari bahwa ia memahami pengalaman sebagai pengalaman yang dipunyai oleh jiwa; adanya nilai berarti ada suatu jiwa atau roh yang dapat memahaminya, jiwa dapat menangkap makna.”

Idealisme terdiri spiritualis dan dualis. Spiritualis adalah “segenap tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya.” Dualis adalah “yang terdalam ialah jiwa semesta, tetapi mereka pun menyatakan pendapat umum bahwa alam merupakan tatanan yang terdiri dari tingkat-tingkat yang berbeda-beda.”[2]

B.    Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

 

Secara garis besar aspek ontologi dalam islam ada tiga, yaitu Allah, Alam, dan Hari Pertemuan. Allah, dialah yang menciptakan alam dan akan mengadakan hari pertmenuan tersebut. Alam adalah segenap makhluk yang telah diciptkannya; alam merupakan kalam-Nya dan ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis.sedangkan hari pertemuan merupakan hari dimana manusia dimintai pertanggung jawaban atas semua perbuatan dan amanah yang telah diperbuatnya.

 

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di dalam kehidupannya.

Orang-orang yang beriman sekali pun ia telah beriman sejak lahir, karena dilahirkan ditengah orang tuanya yang mukmin, tetap wajib untuk mendalami ontologi islam. Sebab untuk melahirkan mukmin yang militant tidak bisa tanpa pengetahuan yang benar dan mendalam tentang Allah, kehidupan dan hari pertemuan ini.  Dengan demikian, aspek ontologi islam harus menjadi sentral pembahasan dalam ilmu-ilmu dan pelajaran-pelajaran yang diselenggarakan ditengah masyarakat islam baik ditengah keluarga, sekolah dan masyarakat itu sendiri.[3]

 

C.   Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat

Karena berasal dari akar sejarah, budaya, dan agama yang berbeda, Islam dan Barat memiliki kerangka worldview yang juga berbeda terhadap sumber ilmu. Kalangan Intelektual menyebutnya epistemologi ilmu, yaitu pembahasan mengenai cara mendapat ilmu, sumber­-sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-­hal lain.[4]

 

A.       Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Islam. keilmuwan Islam lebih banyak berpijak pada al-Qur’an. Untuk melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan epistemologi.

Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an.  Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.[5]

Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya, ada tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).

Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang mutawatir) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.

B.       Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Barat

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Barat, ilmu bersifat evolutif. Hal itu disebabkan epistemologi keilmuwannya dibangun di atas tiga aliran filsafat yang bantah-membantah, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.

Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas: Pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman.

Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini  berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris.

Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.

Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanyaterbatas pada akal ( rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitik beratkan pada dua kompenen ini sehingga hasilnya makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafika dan tidak masukkannya ke dalam definisi ilmu. Akibatnya, ilmu pegetahuan dan niilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.[6]

Bagi pandangan keilmuwan Barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional, dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya.

 

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Ontologi adalah Salah satu cabang dari filsafat Ilmu yang membahas tentang sumber ilmu pengetahuan. Yaitu segala sesuatu yang dijadikan tempat pengambilan bahan-bahan dimana suatu ilmu dirumuskan. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang ditinjau ulang. Dalam ilmu pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu pengatahuan bertugas menjawab pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi berarti berbicara tentang jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di dalam kehidupannya.

 

Disinilah letak perbedaan antara konsep islam dan barat dalam menyikapi objek ilmu. Bagi islam objek ilmu itu meliputi alam fisik dan metafisik. Sedangkan barat hanya mengakui terbatas pada alam fisik saja.

 

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, 2018. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prenadamedia Group

Hakim, Sudarnoto Abdul, Kusmana, El-Mahsyar, dkk. 2006. Integrasi Keilmuan. UIN Syarif Hidayatullah : UIN Jakarta Press

Armas, Adnin, 2007. Konsep Ilmu dalam Islam. Depok

 

Mubarok, Ainul, 2007. Sumber-Sumber Ilmu, IAIN

 

https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_PERSPEKTIF_ISLAM_Makalah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata

 



[1] Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hal, 124

[2] Sudarnoto, Abdul Hakim, Kusmana, Masyri, El-Mahsyar, Integrasi Keilmuan, ( UIN Syarif Hidayatullah: UIN Jakarta Press, 2006) hal 67-69

[3]https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_PERSPEKTIF_ISLAM_Makalah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata

[4] Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, Makalah, Depok, 2007, hal. 1

[5] Ainul Mubarok, Sumber-Sumber Ilmu, 2007 hal. 57

[6] Al-Attas dalam Adnin Armas, hal. 7