Pendidikan
adalah salah satu fokus dunia untuk meningkatkan performa dari masyarakatnya
termasuk generasi selanjutnya. Indonesia sendiri telah mewajibkan pendidikan
itu bagi seluruh masyarakatnya. Pada pembukaan UUD 1945 tertulis jelas bahwa
“mencerdaskan kehidupan bangsa.” Oleh karenanya, penyediaan pendidikan yang
bermutu ialah tugas dari pemerintah. Apabila kita membicarakan mengenai pendidikan,
maka permasalahan yang sering didengar adalah pergantian kurikulum yang
terus-menerus terjadi. Seolah-olah pergantian menteri akan diiringi dengan
pergantian kurikulum. Pendidikan Indonesia sendiri telah berganti kurikulum
lebih kurangnya sepuluh kali. Pergantian kurikulum ini didasarkan akan beberapa
hal yang belum mencapai target.
Sebelum
kurikulum ditetapkan pastinya kurikulum telah dirancang dengan baik. Setelah
perencanaan pasti adanya pengimplementasian akan kurikulum tersebut. Namun,
dalam prakteknya, kurikulum akan selalu diawasi dan dievaluasi. Kurikulum yang
telah berlaku akan selalu dievaluasi dan dinilai untuk melihat perkembangan
kurikulum tersebut dalam mencapai tujuan pendidikan nasional maupun tujuan
kurikulum itu sendiri. Oleh karenanya evaluasi kurikulum merupakan bahasan yang
dapat menyebabkan kurikulum itu berubah seiring berjalannya zaman.
Dari latar belakang masalah di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dan tujuan evaluasi
kurikulum?
2.
Apa saja prinsip-prinsip evaluasi
kurikulum?
3.
Apa saja aspek-aspek evaluasi
kurikulum?
4.
Bagaimana proses evaluasi
kurikulum?
5.
Apa saja model evaluasi kurikulum?
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian dan tujuan evaluasi kurikulum
2.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip evaluasi kurikulum?
3.
Untuk
mengetahui aspek-aspek evaluasi kurikulum?
4.
Untuk
mengetahui proses evaluasi kurikulum?
5.
Untuk
mengetahui model evaluasi kurikulum?
Metode penulisan makalah yang dipilih oleh
penulis adalah metode pustaka. Metode pustaka adalah metode yang dilakukan
dalam mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan baik
dengan materi makalah ini, seperti buku, jurnal maupun informasi dari internet.
E.
Sistematika Penulisan Makalah
sistematika penulisan makalah ini
terdiri dari :
BAB I pendahuluan yang
didalamnya terdapat latar belakang masalah, indetifikasi masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan makalah, manfaat penulisan
makalah, metode penulisan makalah dan sistematika penulisan makalah.
BAB II yang terdiri dari
pembahasan materi seperti pengertian dan tujuan evaluasi kurikulum,
prinsip-prinsip evaluasi kurikulum, aspek-aspek evaluasi kurikulum, proses
evaluasi kurikulum, dan model kurikulum.
BAB III penutup yang
didalamnya terdapat kesimpulan materi makalah ini serta saran dari penulis.
A.
Definisi dan Tujuan Evaluasi
Kurikulum
1.
Definisi
Evaluasi Kurikulum
Penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia telah diatur oleh undang-undang No. 20 Tahun 2003.
Mulai dari tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan hingga kurikulum yang memuat
tujuan, isi, bahan materi pelajaran hingga metode pengajaran yang harus
diterapkan oleh seluruh sekolah di selurh wilayah Indonesia. Bersama kita
ketahui bahwa kurikulum di Indonesia kerap kali berganti, sehingga terdapat
istilah “ganti menteri, ganti kurikulum.” Hal ini memunculkan pro kontra yang
hangat dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Pasalnya, perubahan yang
terjadi akan menimbulkan kesulitan bagi sekolah (terutama guru) dalam kegiatan
belajar mengajar. Dikarenakan pergantian kurikulum yang terjadi tidak sejalan
dengan pembinaan yang dilakukan terhadap tenaga pendidik. Oleh karenanya, masih
ada beberapa sekolah yang masih tertinggal kurikulum di sekolahnya.
Namun,
pergantian kurikulum tidak semata-mata diganti begitu saja. Terdapat proses
evaluasi yang dilakukan terlebih dahulu sebelum diadakannya pergantian
kurikulum itu sendiri. Kurikulum itu sendiri dalam UU No. 20 tahun 2003
memiliki pengertian “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.”[1]
Sedangkan, evaluasi memiliki pengertian “suatu proses membuat keputusan tentang
nilai suatu objek.”[2]
Pengambilan keputusan yang manilai tentang suatu objek tertentu yang akan
melihat objek tersebut masih layak atau sudah tidak layak untuk ditetapkan.
Biasanya akan terjadi pembaharuan dan penambahan dalam bagian-bagian tertentu
agar objek tersebut semakin tertata dengan baik. Layaknya pada kurikulum 2013
yang ditambahkan atau direvisi setelah pengimplementasiannya.
Tyler
berpendapat mengenai evaluasi kurikulum ini, dimana menurutnya “evaluasi
berfokus pada upaya yang menentukan tingkat perubahan yang terjadi pada hasil
belajar.”[3] Pendapat
Tyler ini bertujuan dalam melihat peningkatan hasil belajar dari peserta
didiknya. Evaluasi kurikulum yang dimaksudkan mengenai hasil dari proses
implementasi kurikulum yang telah dilakukan. Rumusan evaluasi yang dicetuskan
oleh Gronlund ialah “suatu proses yang sistematis dari pengumpulan, analisis
dan interpretasi informasi atau data untuk menentukan sejauh mana siswa telah
mencapai tujuan pembelajaran.”[4]
Evaluasi kurikulum dalam konsep Grounlund dapat diartikan sebagai sistem dalam
mengolah data, yang bertujuan untuk melihat ketercapaian tujuan kurikulum
tersebut. Dalam pandangan Morisson mengartikan evaluasi sebagai
mempertimbangakan sesuatu sesuai dengan kriteria yang telah disetujui dan
dipertanggungjawabkan. Terdapat tiga faktor utama yang ada pada evaluasi itu,
yaitu: pertimbangan, objek penilaian, dan kriteria penilaian yang
dipertanggungjawabkan.[5]
Dari
beberapa pandangan ahli diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kurikulum itu
ialah sebuah proses yang tersusun secara sistematis yang terdiri dari beberapa
faktor (pertimbangan, objek penilaian, dan kriteria penilaian), yang
dimaksudkan untuk menilai dan memeprtimbangankan sebuah kurikulum dalam
ketercapaian hasil dan terlaksana tujuan kurikulum tersebut.
2.
Tujuan
Evaluasi Kurikulum
Program
evaluasi kurikulum ini sangat penting untuk mengukur dan menilai mengenai
kurang atau lebihnya kurikulum tersebut. Tujuan akan diadakannya evaluasi
kurikulm ini adalah sebagai penyempurna kurikulum yang dilakukan dengan cara
pengungkapan proses pelaksanaan kurikulum yang telah berhasil mencapai tujuan
yang ditetapkan pada kurikulum tersebut.[6]
Ditambah pendapat Eisner yang menyatakan bahwa tujuan dari evaluasi kurikulum
itu sendiri ialah sebagai bahan merevisi kurikulum. Oleh karenanya evaluasi
kurikulum diperlukan untuk mengontrol berjalannya kurikulum itu sendiri. Pada
dasarnya tujuan dilakukannya kegiatan evaluasi, baik itu evaluasi kurikulum
atau lainnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Menyediakan
informasi mengenai pelaksanaan dan pengembangan kurikulum sebagai masukan dalam
pengambilan keputusan
b.
Menentukan
tingkat keberhasilan dan kegagalan sebuah kurikulum serta faktor yang
berkontribusi dalam suatu lingkaran tertentu
c.
Mengembangkan
berbagai alternatif pemecahan masalah yang dapt digunakan dalam perbaikan
kurikulum
d.
Memahami
dan menjelaskan karakteristik sebuah kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.[7]
Menurut
Ibrahim dalam buku Manajemen Kurikulum menyatakan bahwa evaluasi kurikulum ini
diadakan untuk:
a.
Perbaikan
Program
b.
Pertanggungjawaban
kepada berbagai pihak
c.
Penentuan
tindak lanjut.[8]
B.
Prinsip-Prinsip Evaluasi Kurikulum
Menurut Oemar Hamalik prinsip-prinsip kurikulum meliputi beberapa
hal:
1.
Tujuan
tertentu, maksudnya program evaluasi kurikulum terarah dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan secara spesifik.
2.
Bersifat
objektif, evaluasi kurikulum haruslah sesuai dengan keadaan sebenarnya yang
sesuai dengan data nyata dan akurat yang diperoleh dengan cara yang terpercaya.
3.
Bersifat
komprehensif, maksudnya harus mencakup akan keselurhan dimensi dan aspek yang
ada dalam ruang lingkup kurikulum. Seblum pengambilan keputusan haruslah
memperhatikan dan mempertimbangkan komponen yang terdapat dalam kurikulum
secara seksama.
4.
Kooperatif
dan bertanggung jawab dalam perencanaan. Pelaksanaan dan keberhasilan evaluasi
kurikulum ialah tangung jawab semua pihak yang terlibat dalam proses
pendidikan.
5.
Efisien,
dalam menggunakan waktu, biaya, tenaga dan peralatan seharusnya diupayakan
menghasilkan evaluasi yang lebih tinggi atau paling tidak seimbang dengan materil
yang digunakan.
6.
Berkesinambungan,
evaluasi ini harus dilakukan terus menerus secara berkala sehingga peran kepala
sekolah dan guru sangat penting untuk menilai sejauh mana keberhasilan dan
permasalahan dalam pelaksanaan kurikulum tersebut.[9]
C.
Aspek-Aspek Evaluasi Kurikulum
Dalam buku Oemar Hamalik mengemukakan aspek-aspek evaluasi
kurikulum sebagai berikut:
1.
Kategori
masukan, meliputi:
a.
Ketercapaian
target kurikulum yang telah ditentukan
b.
Kemampuan
awal pada peserta didik program pendidikan
c.
Derajat
kmampuan professional tenaga pelatih/pembimbing/guru
d.
Kuantitas
dan mutu sarana prasarana kelembagaan
e.
Jumlah
dan pemanfaatan waktu yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan kurikuler
f.
Penyediaan
dan pemanfaatan sumber informasi bagi pelaksanaan kurikulum.
2.
Kategori
proses, meliputi:
a.
Koherensi
anatara unsur-unsur dalan program pengajaran
b.
Kedayagunaan
dan keterlaksanaan program pengajaran dalam proses belajar-mengajar
c.
Perumusan
isi kurikulum
d.
Pemilihan
dan penggunaan strategi belajar-mengajar dan media pengajaran
e.
Pengorganisasian
kurikulum
f.
Prosedur
evaluasi
g.
Bimbingan,
penyukuhan dan pengajaran remidi.
3.
Kategori
produk/kelulusan, meliputi:
a.
Kuantitas
dan kualitas yang didapat oleh peserta didik
b.
Jumlah
lulusan program pendidikan
c.
Karya
yang dibuat oleh lulusan
d.
Keteraksanaan
dan dampak program pendidikan.[10]
Proses
adalah serangkaian langkah-langkah untuk melakukan sesuatu. Proses atau dapat
dikatakan sebagai prosedur dalam evaluasi kurikulum diartikan sebagai
serangkaian langkah-langkah yang tersusun dalam menilai sebuah kurikulum yang
sedang diterapkan. Proses evaluasi terkait asesmen hasil belajar untuk
mengungkap apakah perubahan tingkah laku siswa yang diinginkan telah tercapai.
Menurut Cronbach dan Stufflebeam proses evaluasi fokus pada pengumpulan data
dan penggunaanya bagi pengambilan keputusan. Dan penyediaan data bagi penentuan
alternatif keputusan.[11]
Dalam
proses evaluasi kurikulum terdapat beberapa langkah yang meliputi:
1.
Evaluasi
kebutuhan dan Feasiblity
Evaluasi
ini dapat dilaksanakan oleh organisasi atau administrator tingkat pelaksana.
Proses yang dilakukan adalah merumuskan tipe dan jenis mata pelajaran atau
program yang sekarang disampaikan dan menetapkan program yang dibutuhkan. Hal
ini dilakukan dengan menilai riset yang telah ada, baik riset setempat maupun
riset tingkat nasional yang sama atau berhubungan, menetapkan Feasibility pelaksanaan
program sesuai dengan sumber-sumber yang ada (materiil dan manusiawi),
mengenali masalah-masalah yang mendasari kebutuhan, menentukan bagaimana proyek
akan dikembangkan guna berkontribusi pada sistem sekolah atau sekolah setempat.
2.
Evaluasi
masukan (input)
Evaluasi
masukan melibatkan para supervisor, konsultan dan ahli mata pelajaran yang
dapat merumuskan pemecahan masalah, yang dilihat hubungannya dengan hambatan,
kecakapan kerja, keampuhan, dan biaya ekonomi. Jadi evaluasi masukan menuju
kearah perkembangan berbagai strategi dan prosedur, yang dalam pembuatan
keputusannya sangat dibutuhkan informasi yang akurat. Selain itu, masukan juga
berusaha mengenali daerah permasalahan tersebut agar dapat diawasi selam
berlangsungnya implementasi.
3.
Evaluasi
proses
Evaluasi
proses adalah sistem pengelolaan informasi dalam upaya membuat keputusan yang
berkenaan dengan ekspansi, kontraksi, modifikasi, dan klasifikasi strategi
pemecahan atau pemecahan masalah. Dalam hal ini, staf perpustakaan memainkan
peran penting karena mereka secara langsung melakukan monitoring terhadap
desain dan prosedur pelaksanaan program, serta memberikan informasi tentang
kegiatan-kegiatan program.
4.
Evaluasi
produk
Evaluasi
ini berkenaan dengan pengukuran terhadap hasil-hasil program kaitannya dengan
tercapainya tujuan. Berbagai variabel yang diuji bergantung pada tujuan,
perubahan sikap, perbaikan kemampuan, dan perbaikan tingkat kehadiran.[12]
Langkah-langkah evaluasi ini haruslah dilakukan seorang evaluator
dalam pengevaluasian. Adapun prosedur pengevaluasian dalam revisi dari model
evaluasi PSP yang dikemukakan oleh Storang dan Helm:
1.
Kajian
terhadap evaluan
Tahap awal dari sebuah proses evaluasi kurikulum yang harus
dilakukan seorang evaluator. Tahap ini bertujuan untuk memahami karakteristik
dari kuriulum yang akan di evaluasi. Seoarang evaluator harus mengetahui latar
belakang, filosofi, ide, proses implementasi kurikulum hingga evaluasi hasil
belajar dari sebuah kurikulum. Dengan demikian seorang evaluator dapat berfokus
dengan evaluasi yang akan dilakukannya.
2.
Pengembangan
proposal
Setelah seorang evaluator memahami karakteristik dari kurikulum
yang akan dievaluasi, maka selanjutnya evaluator mengembangkan proposalnya.
Seorang dilakukan, baik itu evaluasi kuantitatif atau kualitatif. Dalam
pengembangan proposal terdapat beberapa komponen. Komponen awal yang harus
ditentukan ialah tujuan dari evaluasi maksudnya tujuan yang diinginkan dari
evaluasi bukan tujuan pengumpulan data. Komponen proposal lainnya adalah
pendekatan yang akan digunakan.
3.
Pertemuan/diskusi
proposal dengan penggunaan jasa evaluasi
Langkah berikutnya ialah mengadakan pertemuan dan diskusi bersama
pengguna jasa evaluasi. Dalam hal ini evaluator harus membicarakan mengenai
berbagai aspek yang bersangkutan dengan evaluasi yang akan dilakukan.
4.
Revisi
proposal
Revisi proposal merupakan langkah berikutnya setelah pertemuan dan
diskusi sebelumnya. Dalam melakukan revisi seorang evaluator tidak boleh
mengorbankan objektivitas dan kualitas pekerjaan. Evaluator boleh melakukan
revisi terhadap tujuan, pendekatan dan juga model evaluasi yang akan digunakan.
Evaluator harus memperhatikan kepentingan pengguna jasa.
5.
Rekruitmen
personalia
Langkah ini bisa saja dilakukan pada saat menyusun proposal, maka
pada proposal jumlah orang, nama serta kualifikasinya harus dicantumkan pada
proposal. Jika rekruitmen belum dilakukan pada waktu penyusunan proposal maka
yang dicantumkan pada proposal adalah jumlah orang serta kualiikasinya.
6.
Pengurusan
persyaratan administrasi
Pada kegiatan evaluasi kurikulum diperlukan formalitas administrasi
yang di dalamnya seorang evaluator harus mendapatkan izin dari pengguna
kurikulum, pimpinan sekolah, dan juga pejabat yang terkait.
7.
Pengorganisasian
pelaksanaan
Pengorganisasian pelaksanaan memiliki pengertian suatu kegiatan
manajemen yang tingkat kerumitannya ditentukan oleh ruang lingkup pekerjaan
evaluasi dan jumlah evaluator yang terlibat.
8.
Analisis
data
Proses pengumpulan data dibutuhkan dalam evaluasi kurikulum.
Setelah itu, maka proses analisis data ialah tahap yang dilakukan oleh sang evaluator.
Analisis data bergantung pada model yang digunakan, entah itu model kuantitatif
ataupun kualitatif. Analisis data ialah bentuk tanggung jawab professional dan
memerlukan wawasan dan pemahaman terhadap evaluan untuk menghasilkan analisis
yang dapat dipertanggungjawabkan.
9.
Penulisan
laporan
Penulisan laporan harus dilakukan dengan evaluator dan tim sesuai
dengan kesepakatan yang dilakukan pada waktu awal. Pada umumnya dikenal dua
jenis laporan yaitu laporan eksekutif dan laporan lengkap.
10.
Pembahasan
laporan dengan pemakai jasa
Pembahasan ini diperlukan untuk melihat kelengkapan laporan.
Apabila pengguna jasa memerlukan informasi tambahan maka kewajiban evaluator
dalam melengkapi laporan tersebut.
11.
Penulisan
laporan akhir
Tahap akhir ini ialah sebagai hasil dari revisi yang harus
dilakukan evaluator ketika terjadi pembahasan laporan dengan pengguna jasa.[13]
Dalam proses atau prosedur evaluasi kurikulum ini terdaat beberapa
pendekatan yang dibagi sebagai berikut:
1.
Evaluasi
kuantitatif
Adapun prosedur evaluasi kurikulum secara kuantitatif adalah:
a.
Penentuan
masalah dan pertanyaan evaluasi
b.
Penentuan
variabel, jenis data dan sumber data
c.
Penentuan
metodologi
d.
Pengembangan
instrumen
e.
Penentuan
proses pengumpulan data
f.
Penentuan
proses pengolahan data
2.
Evaluasi
kualitatif
Adapun prosedur evaluasi kurikulum secara kulitatif adalah:
a.
Menentukan
fokus evaluasi
b.
Perumusan
masalah dan pengumpulan data
c.
Proses
pengolahan data
d.
Menentukan
perbaikan dan perubahan program[14]
Dalam setiap hasil keputusan yang telah
dijalankan, pasti haruslah ada evaluasi untuk melihat dan menilai keberhasilan
dan kegagalan dari program yang telah ditentukan. Pada evaluasi terdapat
model-model evaluasi, dimana pada tiap model evaluasi itu melekat jenis data
yang dikumpulkan, teknik analisis data, refleksi orientasi kurikulum dan
evaluasi. Menurut Prof. Mohamad Ansyar, Ph. D. dalam bukunya membagi model
evaluasi menjadi beberapa model, yaitu:
1.
Model
Diskrepansi Provus
Model
Deskrepansi (Descrepancy Model) oleh Malcom Provus didasarkan pada
asumsi bahwa evaluasi program untuk mencapai dua tujuan : (1) proses
pengembangan program, dan (2) cara mengkaji manfaat program. Model ini juga
mengaitkan evaluasi dengan teori manajemen sistem yang terdiri atas empat
tingkat: (1) menentukan standar program, (2) menentukan unjuk kerja program,
(3) membandingkan unjuk kerja dan standar, (4) menetapkan apakah terdapat
kesenjangan antara unjuk kerja dan standar.[15] Informasi yang terkumpul disediakan bagi dua
tingkat pengambilan keputusan: (1) personel program yang bertanggung jawab atas
organisasi persiapan, pengembangan dan implementasi program sekolah, dan (2)
personel tingkat pengambil keputusan atau tingkat administrasi. Kaitan antara
kedua tingkat ini dihubungkan oleh evaluasi , yang menurut provus (1972),
adalah pelayan pengambangan program dan penasihat yang diam bagi administrator,
tetapi bekerja menurut aturan permainannya sendiri, terlepas dari kekuasaan
unit program.[16]
Evaluasi,
menurut model ini, merupakan perbandingan antara hasil program yang sebenarnya
dan standar yang ditetapkan. Perbandingan antara unjuk kerja program dan
standar disebut “diskrepansi”. Evaluasi harus dapat memberikan informasi
tentang diskrepansi ini dan pengambil keputusan dapat bertindak berdasarkan
diskrepansi itu. Tingkat 1: Standar program yang dievaluasi ditetapkan. Provus
menganjurkan agar pada perbandingan pertama, program ditinjau dari seperangkat
elemen yang berpasang-pasangan; satu pasang mencakup input dan output. Sejalan
dengan ini, timbul pula proses yang membawa perubahan dari input menjadi
output. Tingkat 2 membandingkan antara hasil program dan desain. Tingkat 3,
yang dinamakan proses microlevel evaluation, mengkaji proses dan hasil
untuk menentukan hubungan sebab-akibat. Tingkat 4, evaluasi tingkat macrolevel
evaluation, melihat dampak program secara keseluruhan terhadap perubahan
tingkah laku siswa yang dikaji untuk mengetahui apakah program telah mencapai
sasaran. Tingkat 5 semua data dikumpulkan dan dibandingkan: antara program yang
dievaluasi dan desain lain yang menuju sasaran yang sama.
2.
Model
Contigency-Congruence
Stake
(1967) mengajukan model Contigency-Congruence sebagai kerangka kerja (framework)
bagi pengembangan rancangan evaluasi. Perhatian utamanya ialah tujuan evaluasi
dan keputusan berikutnya tentang hakikat data yang terkumpul. Stake melihat ada
diskrepansi antara harapan evaluator dan harapan guru. Model ini didesain untuk
mengumpulkan semua data yang relevan dan diberikan kepada yang memerlukan data
untuk evaluasi.[17]
Jadi, model Countenance Stake berfokus pada evaluasi proses pembelajaran
di dalam kelas yang berorientasi transaksi. Hasil transaksi menurut Stake
(1967), tidak harus berupa keluaran tingkah laku, tetapi dapat berupa keluaran
apa saja, termasuk yang taksonomik dan humanistik.[18]
3.
Model
CIPP
Komite
Pengkajian Nasional Phi Delta Kappa tentang evaluasi (The Phi Delta
Kappa National Study Committee on Evaluation) oleh Daniel L Stufflebeam et
al. (1970) mengajukan model evaluasi berbasis manajemen. Premis yang
mendasari model ini ialah bahwa evaluasi bertujuan membantu pengambilan
keputusan untuk memperbaiki kurikulum.[19]
Model ini terkenal dengan ”the CIPP model”, akronim secara berturut dari
Context, input, proses, dan product. Model CIPP bertumpu pada
definisi evaluasi bahwa evaluasi adalah suatu proses penggambaran, perolehan,
dan penyediaan informasi bagi penetapan beberapa alternatif keputusan. Menurut
Ornstein & Hunkins, model CIPP dianggap model evaluasi dan evaluasi
kurikulum yang komprehensif. Alasannya ialah karena model CIPP tidak hanya
fokus pada evaluasi produk (sumatif) saja, tetapi juga pada evaluasi formatif
yang mencakup evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses. Selain itu
model CIPP merupakan suatu proses yang berkelanjutan dengan tekanan terutama
pada evaluasi formatif daripada evaluasi sumatif saja.[20]
Karena model evaluasi CIPP memandang evaluasi sebagai proses berkelanjutan,
model ini menetapkan tujuan, metode, dan saling kaitan antara tiap-tiap
evaluasi dan pengambilan keputusan dalam konteks perubahan untuk meningkatkan
efektivitas kurikulum melalui beberapa tipe keputusan kurikulum.
Terdapat
4 tipe keputusan kurikulum dalam model ini : (1) keputusan perencanaan (planning
decisions), (2) keputusan strukturisasi (structring decisions), (3)
keputusan implementasi (implementing decisions), dan (4) keputusan daur
ulang (recycling decisions). Berkorespondensi dengan keempat tipe
keputusan tersebut terdapat pula empat tipe evaluasi: (1) evaluasi konteks, (2)
evaluasi input, (3) evaluasi proses, dan (4) evaluasi produk.
4.
Model
Surrogate Experience Kemmis
Model
evaluasi Kemmis (1964) didasarkan pandangan bahwa kurikulum tidak bisa diakses
secara tepat dan secara objektif, tetapi memerlukan evaluasi yang luas dengan
mengkaji banyak variabel.[21]
Tugas evaluator harus mengungkapkan kurikulum apa adanya dengan menunjukkan
potret kurikulum: hakikatnya, isu-isu tentang kurikulum, dan orag-orang yang
mengimplementasi kurikulum. Sasarannya ialah menunjukkan betapa kompleks dan
beragamnya realita yang ada sekitar kurikulum, sehingga tidak begitu mudah
dipahami jika evaluasi hanya didasarkan pada hasil asesmen melalui hasil tes
dan instrumen evaluasi lain. Terlihat bahwa model evaluasi ini mengutamakan
dimensi kemanusiaan yang sarat dengan nuansa pendekatan psikologi humanis dan
penelitian kualitatif.
5.
Model
Riset Tindakan Kelas
Model
evaluasi tindakan kelas (action research model) menggabungkan pendekatan
saintifik dan humanistik. Model ini menurt Greene (1995), terkait dengan
modifikasi terus menerus pengalaman pendidikan sehingga tiap even pengalaman
selalu segar. Karena itu, model ini mengutamakan partisipasi dalam kurikulum,
karena menurut Palker Palmer (1998), satu-satunya cara untuk mengevaluasi
proses pembelajaran adalah keberadaan peneliti dalam lingkungan pendidikan. Ini
berarti, guru merupakan pemain kunci dalam model evaluasi ini sehingga dia,
bukan saja mengevaluasi kurikulum, tetapi juga implementasi, dalam proses
pembelajaran di kelas.[22]
Penyesuaian komponen kurikulum itu dapat dilakukan dalam beberapa langkah, guru:
(1) mengidentifikasi apa yang akan dicapainya melalui suatu pelaksanaan aspek
kurikulum atau pedagogi tertentu dan apa pula yang akan dicapai siswa dari
aspek kurikulum itu; (2) menetapkan bagaimana memonitor hasil implementasi
kurikulum; (3) menginterpretasi data yang terkumpul dari hasil monitoring; dan
(4) meneruskan proses riset tindakan kelas.
6.
Model
Studi Kasus Stake
Stake’s
Case Study Model yang diajukan
Stake (1976) fokus pada situasi penelitian spesifik dengan ciri-ciri: (1)
deskripsi beberapa variabel yang tidak selalu bisa diisolasi; (2) data berasal
dari hasil observasi personel; (3) komparasi yang mungkin implisit daripada
eksplisit; (4) pentingnya pemahaman tentang kasus studi itu sendiri; (5)
generalisasi sebagai hasil pengalaman evaluator itu sendiri yang berasal dari
pengetahuannya tentang hal terkait apa, mengapa, dan bagaimana semua yang
dialami peneliti selama proses penelitian berlangsung; dan (6) gaya laporan
penelitian bernada informal.[23]
Evaluasi
kurikulum itu ialah sebuah proses yang tersusun secara sistematis yang terdiri
dari beberapa faktor (pertimbangan, objek penilaian, dan kriteria penilaian),
yang dimaksudkan untuk menilai dan memeprtimbangankan sebuah kurikulum dalam
ketercapaian hasil dan terlaksana tujuan kurikulum tersebut. Evaluasi kurikulum
diperlukan untuk mengontrol berjalannya kurikulum itu sendiri. Evaluasi
kurikulum memiliki beberapa aspek-aspek dama pengevaluasian yang terdiri dari
kategori masukan, kategori proses, dan kategori produk atau lulusan.
Proses
pengevaluasian kurikulum terdapat beberapa tahapan dengan dua pendekatan.
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang masing-masing dapat digunakan oleh
evaluator untuk melakukan evaluasi kurikulum. Model evaluasi kurikulum terdiri
dan dikumukakan oleh beberapa ahli, seperti: Model Diskrepansi Provus, Model Contigency-Congruence,
Model CIPP, Model Surrogate Experience Kemmis, Model Riset Tindakan Kelas dan
Model Studi Kasus Stake.
Saran yang dapat disampaikan penyusun adalah semoga makalah ini
bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan oleh pembaca. Makalah ini
diharapkan juga dapat diterapkan dalam kegiatan penulisan lainnya. Makalah ini
tentunya masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu saran dan
kritik dari para pembaca sangat penyusun harapkan demi perbaikan penyusunan
makalah di masa yang akan datang.
Ansyar,
Mohamad. Kurikulum: hakikat, fondasi, desain & pengembangan. Jakarta:
Prenadamedia Grup. 2015.
Hamalik,
Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2006.
Hasan, Hamid. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2009.
Rusman. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Wahyudin, Dinn. Manajemen Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2014.
[1] Undang-Undnag Nomor 20 Tahun 2003, hal. 4.
[2] Dinn Wahyudin,
Manajemen Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), cet.
1, hal. 148.
[3] Hamid Hasan, Evaluasi
Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 2, hal. 35.
[4] Rusman, Manajemen
Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), ed. 1, cet. 1, hal. 93.
[5]Rusman, Ibid,
hal. 93.
[6]Dinn Wahyudin, Manajemen
Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), cet. 1, hal. 149
[7]Hamid Hasan, Evaluasi
Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 2, hal. 43.
[8]Dinn Wahyudin, Op.Cit,
hal. 149-150.
[9] Dinn Wahyudin,
Ibid, hal. 149.
[10] Oemar Hamalik,
Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), cet. 1, hal. 240-241.
[11]Mohamad Ansyar,
Kurikulum: hakikat, fondasi, desain & pengembangan, (Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015), hal.467-468.
[12] Dinn Wahyudin,
Manajemen Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hal.150-151
[13] Hamid Hasan, Evaluasi
Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 2, hal. 160-167.
[14] Hamid Hasan, Ibid,
hal. 167-173.
[15] Miller &
Seller, 1985, 257
[16] Ibid, 310
[17] Miller &
Seller, 313-317
[18] Ibid, 317
[19] Ibid, 317
[20] Ornstein &
Hunkins, 1988, 261
[21] Brady &
Kennedy, 2007, 262
[22] Ornstein &
Hunkins, 2013, 260
[23] Brady &
Kennedy, 2007, 259-260