SISTEM DANA PERIMBANGAN DALAM MANAJEMAN KEUANGAN
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah “Sistem Dana
Perimbangan” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Kami
sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini yang menjadi tugas mata
kuliah Manajemen Keuangan dengan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah
ini. Oleh sebab itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
terealisasikanlah makalah ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat
memberikan inspirasi terhadap pembaca. Selain itu, saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini
kedepannya.
Sawangan, 17 Maret 2020
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C.
Tujuan dan Penulisan.......................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Dana
Bagi Hasil.................................................................................................. 4
B. Dana
Alokasi Umum......................................................................................... 10
C. Dana
Alokasi Khusus.......................................................................................
16
BAB
III PENUTUP ................................................................................................... 20
A. Kesimpulan
...................................................................................................... 20
B. Saran................................................................................................................. 20
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia
mengacu pada UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang di
bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi
dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,
pemerintah daerah diberi wewenang untuk menggali potensi daerahnya dan
menetapkan prioritas pembangunan.
Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah
dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah
tersebut. Dengan pemberian otonomi daerah kabupaten dan kota, pengelolaan
keuangan sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu,
diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola
dana desentralisasi secara transparan, ekonomis, efisien, efektif, dan
akuntabel. Diberlakukannya Undang-undang ini memberikan peluang bagi daerah
untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka
mewujudkan kemandirian daerah.
Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk
pelaksanaan kewenangan Pemda, Pempus akan mentransfer dana perimbangan yang
terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian
daerah dari dana bagi hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam.
Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah daerah.
Seharusnya dana transfer dari Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan
efisien oleh Pemda untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan dana bagi hasil dan macam-macam pembagiannya?
2.
Apa
yang dimaksud dengan dana alokasi umum?
3.
Apa
yang dimaksud dengan dana alokasi khusus?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa itu dana bagi hasil dan macam-macam pembagiannya
2.
Untuk
mengetahu apa itu dana alokasi umum
3.
Untuk
mengetahui apa itu dana alokasi khusus
BAB II
SISTEM DANA PERIMBANGAN
Penerimaan dana
perimbangan dari pemerintah pusat masih mendominasi penerimaan daerah. Dana
perimbangan ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu:
1.
Dana
bagi hasil
2.
Dana
alokasi umum
3.
Dana
alokasi khusus
Untuk beberapa
pemerintah daerah masih akan mendapatkan Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi
Khusus. Dari beberapa jenis dana perimbangan tersebut sebenarnya dapat dipilah
antara jenis dana perimbangan yang bisa dikendalikan daerah dengan yang tidak
dapat dikendalikan.
Menurut Kementrian Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi
Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Bagi
Hasil (DBH), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.[1]
A.
Dana
Bagi Hasil
Pemerintah daerah masih dapat mengotimalkan penerimaan dana perimbangan
melalui dana bagi hasil. Dana bagi hasil pada dasarnya terdiri atas dua jenis,
yaitu bagi hasil pajak (tax sharing) dan bagi hasil sumber daya alam (natural
resource sharing).
a.
Dana
bagi hasil pajak meliputi:
1.
Bagi
hasil dari pajak bumi dan bangunan (PBB)
2.
Bagi
hasil dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
3.
Bagi
hasil dari pajak penghasilan pasal 25 dan 29 serta PPh wajib pajak orang
pribadi pasal 21
b.
Dana
bagi hasil sumber daya alam meliputi:
1.
Bagi
hasil dari iuran hak penguasa hutan
2.
Bagi
hasil dari provit sumber daya hutan
3.
Bagi
hasil dari dana reboisasi
4.
Bagi
hasil dari iuran tetap (land rent)
5.
Bagi
hasil dari iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti)
6.
Bagi
hasil dari pungutan pengusahaan perikanan
7.
Bagi
hasil dari pungutan hasil perikanan
8.
Bagi
hasil dari pertambangan minyak bumi
9.
Bagi
hasil dari pertambangan gas bumi
10.
Bagi
hasil dari pertambangan panas bumi
11.
Bagi
hasil dari pertambangan umum
c.
Bagi
hasil PBB dan BPHTB
Berdasarkan hasil UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah, PBB dan BPHTB merupakan pajak daerah. Namun untuk PBB yang
menjadi pajak daerah hanya PBB pedesaan dan perkotaan, sedangkan PBB
perkebunan, kehutanan dan pertambangan masih sebagai pajak pusat yang
mengutamakannya bisa melibatkan pemerintah daerah. Karena PBB dan BPHTB
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 telah diteteapkan sebagai pajak daerah, maka
pemerintah daerah perlu mengoptimalkan penerimaan PBB BPHTB.
Beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk meningkatkan
penerimaan PBB dan BPHTB antara lain:
1.
Melakukan
penilaian kembali (appraisal) terhadap objek pajak PBB untuk menentukan
nilai jual objek pajak (NJOP) yang mendekati pasar
2.
Melibatkan
pihak kelurahan, RW, RT daalam pendataan dan pendistribusian surat ketetapan
pajak PBB
3.
Memperbaiki
administrasi pajak dan menciptakan kemudahan bagi wajib pajak dalam membayar
pajak
4.
Memperbaiki
sisitem basis data PBB
d.
Bagi
hasil sumber daya alam
Bagi hasil SDA pada umumnya lebih bersifat fluktuatif dan
berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Untuk daerah yang memiliki kekayaan
sumber daya alam tertentu akan memperoleh bagi hasil SDA yang besar, seperti
kalimantan timur, bontang, riau, bengkalis, dan sebagainya. Terkait dengan
eksploitasi SDA ini pemerintah daerah perlu memanfaatkan penerimaan dari bagi
hasil SDA tersebut dengan sebaik-baiknya terutama untuk SDA yang bersifat tidak
terbarui. Ketika saat ini memanen hasil SDA, pemerintah daerah harus sudah
memikirkan antisipasi dampak jangka panjangnya, yakni setelah SDA tersebut
habis sehingga tidak mengasilkan pendapatan lagi dan bahkan meninggalkan dampak
negatif seperti kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial.
Untuk SDA tambang, pemerintah daerah perlu memiliki konsep dan
program konservasi alam untuk mengembalikan fungsi lahan. Hal ini bisa
dilakukan dengan mengembalikan bekas lahan tambang tersebut menjadi lahan
pertanian, perkebunan atau hutan. Tetapi untuk mengembalikan fungsi lahan
sehingga mampu memberikan hasil yang optimal membutuhkan biaya dan waktu,
sementara pendapatan dari SDA yang biasanya diperoleh sudah tidak ada lagi.
Akibatnya keuangan daerah terancam mengalami defisit (financial distress).
Oleh karena itu, perencanaan keuangan jangka panjang harus disiapkan sebab jika
tidak maka daerah yang tadinya kaya dapat berubah menjadi miskin. Selain kembali
ke sektor pertanian, pemerintah daerah juga perlu mulai memperkuat sektor jasa
dan perdagangan. Kita bisa melihat bahwa singapura miskin dalam hal SDA tetapi
unggul dalam sektor jasa dan perdagangan sehingga mampu menjadikan negara
tersebut dalam jajaran negara maju.
Pada saat pemerintah daerah memanen hasil SDA yang tinggi hendaknya
pada saat bersamaan pemerintah daerah banyak melakukan investasi, baik
investasi infrastruktur maupun investasi sumber daya manusia. Semangat otonomi
daeeah untuk meningkatkan kemandirian daerah tidak perlu dipahami dengan
melakukan eksploitasi SDA tanpa memikirkan generasi mendatang. Konsep
pembanguan berkesinambungan (sustainable development) dan pembangunan
berwawasan lingkungan harus dipegang. Di masa mendatang isu lingkungan akan
semakin besar dan hal ini tentunya akan berdampak terhadap manajemen keuangan
daerah.[2]
e.
PPH
Pajak
penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah pajak penghasilan yang terutang
oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan
29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, kecuali
pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (8). Pasal 25 ayat (8) ini mengatur
mengenai pengenaan pajak bagi wajib pajak oarang pibadi yang bertolak ke luar
negeri, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Peratuan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2000 tentang Pemnbayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan Bertolak ke
Luar Negeri.
Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja
atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak oramg pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Umdang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, termasuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final dan setoran akhir tahun.
Dalam
perkembangan selanjutnya, apa yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
di atas kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomoer 33 Tahun 2004. Semula
Dana Bagi Hasil yang hanya meliputi PBB dan BPHTB ditambah dengan PPh Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 11 ayat (2) huru c UU Nomor 33 Tahun 2004. Ketentuan lebih lanjut
mengenai hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9 Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.
Pasal 1 butir
13 Peraturan Pemertintah Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa Pajak Penghasilan
Pasal 25 sdan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan
ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilam yang berlaku
kecuali pajak aytas penghasilan sebagaimana diatu dalam Pasal 25 ayat (8).
Sementara itu, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) menurut Pasal 1 butir
14 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 adalah Pajak atas Penghasilan
berupa gaji, upah, hononarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib
pajak orang pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku.
a) Pembagian Penerimaan PPh Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal
21.
Sebelum ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, semula pembagian penerimaan PPh Orang Pribadi
Dalam Neegeri dan PPh Pasal 21 didsarkan pada Pasal 31 C UU Pajak Penghasilan.
Sesuai ketentuan ini, penerimaan negara dari pajak penghasilan orang pribadi
dalam negeri dan pajak penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja
dibagi dengan imbangan 80% untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah
daerah tempat wajib pajak terdaftar.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 31 C tersebut telah
ditetapkan peraturan pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang Pembagian
Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PP ini dikeluarkan
dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih luas sehingga
diberlakukan adanya keselarasan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
Pembagian hasil penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam
Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 antarapemerintah pusat dan pemerintah
daerah dikaitkan dengan tempat wajib pajak terdaftar karena terdapat hubungan
yang kuat dengan daerah tempat wajib pajak memperoleh penghasilan. Pada umumnya
wajib pajak orang pribadi dalam negeri terdaftar berdasarkan tempat tinggal
(domisili), tempat usaha, tempat kegiatan atau pelaksanaan pekerjaan (lokasi).
Bagian penerimaan pemerintah daerah sebesar 20% dibagi antara
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan imbangan:
1.
40%
Untuk daerah Provinsi;
2.
60%
Untuk daerah Kanbupaten/kota
Pengalokaian
bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah kabupaten/kota
diatur berdasarkan usulan gubernur dengan pertimbangan faktor-faktor jumlah
penduduk, luas wilayah, serta faktor-faktor lainnya yang relevan dalam rangka
pemerataan.
Bagian
penerimaan pemerintah daerah tersebut di atas merupakan pendepatan daerah untuk
masing-masing daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan setiap tahun
anggaran dicantumkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sebagai
pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001 tentang Pelaksanaan
Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Dalam Negeri dan
Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6 /KMK.04/2001 ini diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001 tentang Pelaksanaan Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Namun demikian,
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Peraturan Pemerintah
Nomor 115 Tahun 2000 ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
b) Mekanisme Penyaluran
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 127/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
Pajak Penghasilan Pasal 21 tahun anggaran 2007, Dirjen Perimbangan keungan
menerbitkan SK tentang permintaan transfer dana bagi hasil PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 tahun anggaran
2007 untuk masing-masing daerah.
Permintaan transfer tersebut di atas
disampaikan Dirjen Perimbangan Keuangan kepada Dirjen Perbendaharaan sebagai
dasar pelaksanaan transfer sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dilaksanakan
secara triwulan.
Tata cara penyesuaian atas penghitungan
kelebihan Dana Bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 untuk tahun anggaran berikutnya diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri Keungan tersendiri. Selanjutnya, penetapan
alokasi definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 tahun anggaran 2007 akan ditetapkan dalam
Permen Keuangan tersendiri.
B.
Dana
Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU
dialokasikan untuk provinsi, kabupaten atau kota. Namun, daerah kabupaten atau
kota yang ada di wilayah provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi
provinsi DKI Jakarta diletakkan pada ruang lingkup provinsi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.[3]
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang
ditransfer oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan fiskal horizontal dan untuk memeratakan kemampuan
keuangan daerah. [4]
Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan
dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah
fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara
kebutuhan daerah dan potensi daerah. Perubahan dalam undang-undang Nomor 33 Tahun
2004 menegaskan kembali tentang formula celah fiskal dan penambahan variabel
DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan
fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil dan sebaliknya.
Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor
pemerataan kapasitas fiskal.[5]
a.
Penghitungan
Dana Alokasi Umum (DAU)
Jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri
neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan
negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Jumlah 26% ini merupakan
jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan kabupaten atau kota. Proporsi DAU antara
provinsi dan kabupaten atau kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan
pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten atau kota. Dalam hal
penentuan proporsi DAU antara DAU provinsi dan kabupaten atau kota ditetapkan
dengan imbangan 10% dan 90%. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan setiap tahun dan
bersifat final.
Pemerintah
merumuskan formula dan perhitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebiajkan otonomi
daerah. DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan formula dan
perhitungan DAU kepada Presiden sebelum penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN
tahun anggaran berikutnya. Perhitungan DAU dilakukan dengan menggunakan formula
yang dirumuskan oleh Menteri Keuangan.
DAU untuk suatu
daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal
adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar
dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Jumlah gaji
pegawai negeri sipil daerah yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah tunjangan
keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai
negeri sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan tunjangan Pajak
Penghasilan (PPh Pasal 21).[6]
Kebutuhan
fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum. Layanan dasar publik yang dimaksud adalah penyediaan
layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan
masyarakat dari kemiskinan. Kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut berdasarkan:
1.
Jumlah
Penduduk, merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan
layanan publik disetiap daerah.
2.
Luas
Wilayah, merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana
dan prasarana persatuan wilayah. Luas wilayah ini merupakan luas wilayah
daratan.
3.
Indeks
Kemahalan Konstruksi, merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang
dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif
antardaerah.
4.
Produk
Domestik Regional Bruto Perkapita, merupakan cerminan potensi dan aktivitas
perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output
produksi kotor dalam suatu wilayah.
5.
Indeks
Pembangunan Manusia, merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian
kesejahteraan penduduk atas layanan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total
pengeluaran rata-rata nasional. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber
pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Berdasarkan uraian
di atas, alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula berikut
ini.
DAU = CF + AD
Ket:
DAU= Dana Alokasi Umum
CF= Celah Fiskal
AD= Alokasi Dasar
CF= Kebutuhan Fiskal-Kapasitas Fiskal
DAU atas dasar
celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot
daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.
DAU Provinsi =
Bobot Provinsi X DAU Provinsi
Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal
daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah
provinsi.[7]
b.
Alokasi
DAU untuk Daerah Pemekaran
DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah
undang-undang pembentukan disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom baru
dilakukan setelah tersedian data mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
kemahalan, kontruksi, produk domestik regional bruto perkapita, dan indeks
pembangunan manusia. Jika data ini tidak tersedia, penghitungan DAU dilakukan
dengan membagi secara proporsional dengan daerah induk. Penghitungan dengan
membagi secara proporsional dengan daerah induk ini menggunakan data jumlah
penduduk, luas wilayah, dan bealnja pegawai.
c.
DAU
Tambahan
Telah ditetapkan dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan, penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan
Pertambangan Gas Bumi ke daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga
minyak bumi tidak melebihi 130% dari penetapan dalam APBN tahun berjalan. Dalam
hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN perubahan
melebihi 130%, selisih penerimaan negara dan minyak bumi dan gas bumi sebagai
dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU.
Dalam Pasal 31 PP 55 Tahun 2005, dialokasikan sebagai DAU tambahan.
DAU tambahan dialokasikan kepada daerah berdasarkan formula DAU atas dasar
celah fiskal. Pengalokasian DAU tambahan menggunakan formula DAU dan data
penghitungan DAU tahun anggaran berjalan.[8]
d.
Penetapan
Alokasi dan Penyaluran DAU
Alokasi DAU perdaerah ditetapkan dengan peraturan Presiden. Alokasi
DAU tambahan ditetapkan dengan pereaturan Menteri Keuangan. DAU disalurkan
dengan cara pemindah bukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum
daerah. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan mesing-masing sebesar 1/12
dari alokasi DAU daerah yang bersangkutan tata cara penyaluran DAU diatur lebih
lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan.
Penyaluran dana alokasi umum kepada masing-masing kas daerah
dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala. Dalam rangka pencairan atau
penyaluran dana alokasi umum tahun anggaran 2007. Alokasi DAU Tahun Anggaran
2007 untuk masing-masing pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota ditetapkan
didalam Daftar isian Pelaksanaan Anggaran Dana Alokasi Umum (DIPA DAU), sesuai
dengan alokasi yang ditetapkan dalam peraturan presiden Nomor 104 tahun 2006
tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota tahun
anggaran 2007. DIPA DAU tersebut merupakan dokumenpelaksanaan anggaran yang
disahkan oleh Direktur Jendral Anggaran atas nama Menteri keuangan yang berlaku
satu tahun anggaran dan berfungsi sebagai dasar pelaksanaan pencairan DAU. Dana
yang tercantum dalam DIPA DAU merupakan batas tertinggi yang tidak boleh
terlampaui.
e.
Dana
Penyesuaian 2007
Dana penyesuaian tahun 2007 untuk daerah provinsi, kabupaten, dan
kota telah dialokasikan dalam undang-undang Nomor 18 tahun 2006 tentang
Anggaran pendapatan dan belanja Negara Tahun 2007. Dalam rangka penetapan
rinciannya Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
129/PMK.07/2006 tentang penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun 2007 kepada
Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota.
Dana penyesuaian yang dialokasikan kepada daerah provinsi,
kabupaten, dan kota terdiri dari:
a.
Dana
penyesuaian Dana Alokasi Umum (DAU)
b.
Dana
penyesuaian infrastruktur jalan, dan lainnya.
Dana penyesuaian DAU dialokasikan kepada daerah provinsi yang menerima
alokasi DAU tahun2007 lebih rendah dari pada penerimaan DAU ditambah dana
penyesuaian murni tahun 2005 dan kepada daerah yang menerima alokasi DAU tahun
2007 lebih rendah dari pada penerimaan DAU tahun 2006. Dana penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya dialokasikan
kepada daerah tertentu yang memenuhi kriterian yang ditetapkan oleh Panitia
Anggaran DPR RI. Dana penyesuaian tersebut diatas merupakan bagian dari
pendapatan daerah dan dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2007 pada kelompok
lain-lain pendapatan yang sah. Dana penyesuaian merupakan satu kesatuan dengan
alokasi DAU tahun 2007. Penggunaan dana penyesuaian DAU menjadi wewenang daerah
sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah dalam rangka peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dana
penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya digunakan untuk penyediaan sarana
dan prasarana fisik infrastrujtur jalan dan lainnya, meliputi prasarana pemerintahan,
irigasi dan pengairan, pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan, dan
perikanan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Penyaluran
dana penyesuaian DAU kepada masing-masing daerah penerima dilakukan setiap
bulan, sebesar 1/12 dari pagi bersamaan dengan penyaluran DAU penetapan dana
penyesuaian hanya berlaku untuk tahun 2007.
Dana
penyesuaian infrastruktur jalan dan lainnya merupakan dana yang bersumber dari
dana penyesuaian pada anggaran belanja untuk daerah dalam APBN tahun anggaran
2007. Dana ini merupakan bagian dari pendapatan daerah dan dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran 2007. Alokasi dana penyesuaian infrastruktur dalan dan
lainnya tahun 2007 adalah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Menteri
Keuangan Nomor 129/PMK.07/2006 tentang Penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun
2007 kepada Daerah provinsi, Kabupaten dan Kota.[9]
C. Dana
Alokasi Khusus
a. Dasar
Hukum
1. Pasal
38 s.d 42 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
3. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 128 /PMK/.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman
Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2007
4. Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-01/PB/2007 tentang Petunjuk Teknis
Pengesahan dan Pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Dana Alokasi
Khusus (DAK) tahun Anggaran 2007. [10]
b. Pengertian
Dana Alokasi Khusus
Dana
alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.[11]
Daerah yang memperoleh dana alokasi ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis. Maksud
dari dana alokasi khusus yaitu untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi
urusan daerah dan merupakan prioritas nasional sesuai dengan fungsinya,
khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan dengan fungsi yang
ditetapkan dalam APBN.
Kegiatan
utama yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu kegiatan pembangunan, pengadaan,
peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat
dengan umur ekonomis yang Panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Dana
alokasi khusus ditetapkan setiap tahunnya dan diberikan kepada daerah tertentu
yang memenuhi kriteria. Fungsi dalam rincian belanja negara antara lain, layanan
umum, pertahanan, ketertiban dan kemanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan
perlindungan sosial.
c. Penetapan
Alokasi dan Penggunaan DAK
Dana
alokasi per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lambat
dua minggu setelah UU APBN dtetapkan, pelaksanaanya di koordinasikan oleh
Menteri Dalam Negeri.
Daerah
yang menerima dana alokasi khusus wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK
di dalam APBD. Penggunaan DAK dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis
penggunaan DAK. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan,
penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan bisnis.
1. Penganggaran
di Daerah
Daerah
yang menerima DAK wajib menganggarkan dana pendamping dalam APBD
sekurang-kurangnya 10% dari besaran alokasi DAK yang di terima. Dana pendamping
diganakan untuk kegiatan yang bersifat fisik yang dimaksud yaitu kegiatan di
luar kegiatan administrasi proyek, kegiatan penyiapan proyek fisik, kegiatan
penelitian, kegiatan pelatihan, kegiatan perjalanan pegawai daerah, dan
kegiatan umum lain yang sejenis.
2. Penyaluran
DAK
DAK
disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening
kas umum daerah.
3. Pelaporan
Kepala
daerah menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan
dan penggunaan DAK kepada:
1) Menteri
Keuangan
2) Menteri
Teknis; dan
3) Menteri
Dalam Negeri.
Format
laporan diatur lebih lanjut oleh Menteri terkait.
Penyampaian laporan triwulan tersebut
dilakukan selambat-lambatnya empat belas hari setelah triwulan yang
bersangkutan berakhir. Penyaluran DAK dapat ditunda apabila daerah tidak
menyampaikan laporan. Mekanisme penundaan penyaluran DAK diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Menteri teknis menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan DAK setiap akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan,
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri. [12]
4. Pemantauan
dan Evaluasi
Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan Menteri teknis untuk
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan
kegiatan yang di danai dari DAK.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penganggaran
dana pusat dan daerah sudah terbentuk dengan sistem perimbangan dana dan UU
yang berlaku. Dengan adanya disentralisasi daerah anggaran diberikan lebih
teratur. Sistem dana perimbangan terbagi menjadi tiga, yang pertama dana bagi
hasil disusun berdasarkan presentase kebutuhan daerah, misalnya dana bagi hasil
pajak yang terdiri PBB, BPHTB dan PPH. Sedangkan dana bagi hasil SDA biasanya
meliputi daerah-daeeah yang memiliki kekayaan alam berlebih, seperti
kalimantan. Namun daerah tidak sepenuhnya mendapatkan pajak tersebut,
presentase pembagian dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Meliputi
pemberdayaan lahan sehabis pertambangan, dll. Kedua, dana alokasi umum
pembagiannya berdasarkan keadaan fiskal di suatu daerah. Secara umum DAU
disesuaikan dengan kebutuhan fiskalnya permasing-masing daerah. Ketiga yaitu
dana alokasi khusus dissusun sesuai kebutuhan priorita nasional, dengan kata
lain kegiatan khusus atau projek khusus. Pertanggung jawaban DAK diberikan
daerah ke menteri keuangan dan dalam negeri.
B.
SARAN
Dengan adanya
pengimbangan dana diharapkan sistem disentralisasi berjalan sesuai kebutuhan
daerah dan lingkungan masyarakat. Transparansi dari pusat dan daerah juga
diperlukan sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah daerah ke pusat.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-saja-jenis-jenis-dana-perimbangan
Journal Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke daerah
Mahmudi. Manejemen Keuangan Daerah. (Jakarta: Erlangga).
2010.
Yani Ahmad. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia. (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada). 2002.
Yani Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers). 2009.
[1] Website KEMENKEU: http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-saja-jenis-jenis-dana-perimbangan,
diakses pukul 17.00 WIB tanggal 17/03/2020
[2] Mahmudi, Manejemen Keuangan Daerah, (Jakarta, Erlangga, 2010),
Hal. 27.
[3] Yani Ahmad, Hubungan Keuangan antara Peme
rintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada 2002), Hal.142.
[4] Journal Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke daerah
[5] Ibid. Hal 142
[6] Ibid. Hal 144
[7] Ibid. Hal 145
[8] Ibid. Hal 151
[9] Ibid. Hal 159
[10] Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Hal 168
[11] Ibid, hal 165
[12] Ibid, hal 171