Sunday, October 18, 2020

INTEGRASI DAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

 

INTEGRASI DAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang sudah memberi Taufik, Hidayah, serta Inayahnya sehingga kita semua masih bisa beraktivitas sebagaimana seperti biasanya termasuk juga dengan penulis, hingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Makalah ini berisi mengenai Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan makalah ini disusun supaya para pembaca bisa menambah wawasan serta memperluas ilmu yang penulis sajikan dalam sebuah susunan makalah yang ringkas, mudah untuk dibaca serta mudah dipahami.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca serta memperluas wawasan mengenai Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan segala kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi.

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................     ii

DAFTAR ISI.....................................................................................    iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................     1

A.   Latar Belakang Masalah............................................................     1

B.    Rumusan Masalah.....................................................................     2

C.    Tujuan Penulisan......................................................................     2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................     3

A.   Pengertian dan Model Integrasi dan Islamisasi Keilmuan...........     3

B.    Klasifikasi Ilmu.......................................................................     5

C.    Proses Pengislaman Ilmu..........................................................     6

D.   Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu...............................     7

E.    Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu.....................................     8

F.     Paradigma Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan..............    10

G.   Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum....................................    12

BAB III PENUTUP.........................................................................    15

A.   Kesimpulan............................................................................    15

B.    Saran......................................................................................   15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 16           

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Pemikiran tentang integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan yang di lakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang syarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara actual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah kemudian diturunkan aksiologi (tujuan), epistimologi (metodologi), dan ontology (obyek) ilmu pengetahuan.

Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka diperlukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, sehingga akan tercapailah kemajuan yang seimbang antara kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kemajuan dalam bidang ilmu agama, moral dan etika.

Sejalan dengan sasaran tersebut, maka pembahasan dalam makalah ini diarahkan pada upaya mendeskripsikan bangunan pohon ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum secara utuh dan komprehensif sambil mengupayakan integrasinya dengan menggunakan pendekatan normatif teologis, historis dan filosofis.

B.    Rumusan Masalah

1.     Apa Pengertian dan Model Integrasi dan Islamisasi Keilmuan?

2.     Bagaimana Klasifikasi Ilmu?

3.     Bagaimana Proses Pengislaman Ilmu?

4.     Bagaimana Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu?

5.     Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu?

6.     Bagaimana Paradigma Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan?

7.     Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum?

 

C.   Tujuan

1.     Untuk mengetahui Pengertian dan Model Integrasi dan Islamisasi Keilmuan

2.     Untuk mengetahui Klasifikasi Ilmu

3.     Untuk mengetahui Proses Pengislaman Ilmu

4.     Untuk mengetahui Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu

5.     Untuk mengetahui Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu

6.     Untuk mengetahui Paradigma Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

7.     Untuk mengetahui Integrasi Agama dan Ilmu Umum

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Model Integrasi dan Islamisasi Keilmuan

Menurut KBBI, integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[1] Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan Sadily, kata islamisasi berasal dari bahasa inggris “Islamization” yang berarti pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman dimana objeknya dalah orang atau manusia, bukan bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.

Konsep integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah. Kalimat ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof muslim, kalimat tauhid ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simpel, tidak boleh tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi menyatu, tapi bukan satu.[2]

Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusi, manusialah yang menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilain-nilai islam ataukah tidak.

Lebih lanjut, islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan, Karena realitasnya, saat ini

Sejak abad kemunduran islam (abad ke-12 M), karena para penguasa muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan hingga akhir abad ke-16 dimana mulai terputus hubungan antara dunia islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat islam sangat tertinggal jauh dibanding masyarakat barat justru mulai bangkit dari kegelapan pengetahuan setelah sekian lama terbelenggu dalam indoktrinasi teologi Kristiani.[3]

Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi), tanpa mempersalahkan aspek ontologis dan epistemologi ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dan teknologinya tidak dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah orang yang mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa islamisasi ilmu pengetahuan hanya sebagai penerapan etika islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan islami sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu pengetahuan marxistis.[4]

Selain itu budaya ilmu pengetahuan modern misalnya memandang sifat, metode, struktur sains dan agama jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan kontradiktif. Agama mengasumsikan atau melihat sesuatu persoalan dari segi norma (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari objeknya (bagaimana adanya). Selain itu ajaran agama diyakini sebagai petunjuk tuhan, kebenarannya mutlak, sedangkan kebenaran sains bersifat relatif. Agama banyak berbicara tentang banyak yang gaib, sementara sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris. Anggapan yang memperbesar jurang pemisah antara sains dan agama yang dikembangkan masyarakat barat ini hingga sekarang belum tuntas diatasi oleh para pakar islam.[5]

Ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globalisasi, antara lain:

1.     Model Purifikasi

Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma islam.

 

2.     Model Moderenisasi

Model moderenisasi islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat islam di dunia kini, yang disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya, sehingga system pendidikan islam dan ilmu pengetahuan agama islam tertinggal jauh dibelakang non-Muslim (Barat).

Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan mempertimbangkan khaznah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Landasan metodologis islamisasi  pengetahuan model ini, Menurut Saiful Muzani adalah sebagai berikut: pertama, persoalan-persoalan kontemporer umat islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Qur’an. Kedua, bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer, maka harus menelaah konteks sosiohistoris dari ayat-ayat Al-qur’an yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis akan terungkap pesan moral Al-Qur’an yang sebenarnya, yang merupakan etika sosial al-quran. Keempat, Setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang bersifat evaluatif dan legiminatif sehingga memberikan pendasaran dan arahan moral terahadap persoalan yang dihadapi.

Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga umat islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain, khususnya barat.[6]

 

B.    Klasifikasi Ilmu

Kategorisasi ilmu dalam Islam bersifat hierarkis tidak dikotomis.Dilihat dari kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik (al-mahmudah) dan tidak baik (al-madzmumah).Ilmu madzmumah seperti ilmu perbintangan atau ilmu-ilmu pemikiran sesat.Menurut al-Ghazali, kendatipun ilmu ini tidak baik, hendaknya ada sekelompok ilmuan Muslim untuk mempelajarinya.Bukan untuk mengamalkan ilmu tersebut, tetapi untuk menjaga orang awam dari kerancuan.[7]

Secara umum, ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu, iman dan amal. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hazm, ilmu dan iman berasal dari Tuhan untuk tujuan yang sama, yaitu menerima secara totalitas kebajikan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, ilmu yang ber-worldview sekuler harus diislamkan.

Al-Attas memahami sumber-sumber ilmu dengan  merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aql), dan indera (hawas).

C.   Proses Pengislaman Ilmu

Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di sinilah peran epistemologi sangat mendasar.

Menurut Dr. Ugi, apa yang dikatakan pengislaman di antaranya dewesternization of knowledge. Membuang unsur-unsur Barat yang menyelimuti ilmu-ilmu kontemporer.[8]

Membuang unsur-unsur sofisme, rasionalisme, postivisme dalam bangaunan ilmu pengetahuan sebagai metodologi meraih ilmu.Setelah unsur-unsur tersebut dibuang, maka kita memasukkan prinsip-prinsip epistemologi Islam. Menurut al-Attas, Islamisasi ilmu dengan pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, anggapan-anggapan, teorinya tentang alam semesta; interpretasinya tentang asal-usul alam; rasionalitas proses-proses alam, pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, klasifikasinya tentang ilmu; batasan-batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.

Islamisasi ilmu pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam sebagai dasarnya.Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan epistemologi.Karena itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi yang berdasarkan pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke depannya akan memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan hanya menambah dalil-dalil Islam. Padahal, yang diislamkan adalah pandangan alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi.

D.   Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu

Berbeda dengan barat, bagi dunia islam dikotomi bisa mengandung bahaya. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi islam dalam kehidupan pribadi dan kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat yang dirasakan didalam masyarakat ilmu, seni, dan teknologi adalah menjadi wajarnya pendapat yang berpendirian ilmu, seni, dan teknologi adalah bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dari perspektif kesejahteraan umat manusia.

Di negara-negara maju (Barat), para ilmuwan seperti berlomba mengembangkan sains dan teknologi yang mempunyai potensi destruktif sangat tinggi bukan saja terhadap komunitas lain, melainkan juga terhadap komunitasnya sendiri. Bisa dibayangkan jika saja beberapa negara maju terlihat perang dengan menggunakan kemampuan senjata dan rudal andalannya. Hampir bisa dipastikan dunia ini akan hancur.

Bila dikotomi ilmu berkembang didunia islam, maka maka diantara akibatnya adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Pengetahuan umum disamping pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama. Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak semata. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang wilayah bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan etnik.

Selanjutnya umat islam akan mengalami salah paham terhadap islam sendiri. Agama islam yang seharusnya memiliki ajaran yang universal, ternyata disalah pahami, sehingga dianggap hanya memiliki ruang gerak pranata kehidupan yang sempit sekali. Oleh karena itu, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis itu, tentu tidak diterima oleh islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran islam sendiri. Jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menjadi malapetaka bagi masa depan umat dan peradaban islam, sehingga harus ada usaha keras untuk meluruskannya dalam perspektif islam.[9]

 

E.    Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu

Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’ al-Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi.[10]

Potensi keyakinan terhadap sistem ilmu pengetahuan barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan.

Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu. Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan  atas dasar wahyu islam dari ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadist.[11]

Usaha Natsir mengintegralkan sistem pendidikan islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan islam, yang menyatukan 2 kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak menurut pelajaran umum. Tidak beda jauh dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi islam.

Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini.

1.     Akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

2.     Modernisasi dan islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan integrasi keilmuan islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.

Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme barat atas dunia islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya.

Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negative terhadap kemajuan islam. Menurut Ikhrom setidaknya ada 4 masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

1.     Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan islam; dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dam madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka, sementara itu modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.

2.     Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikhotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

3.     Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan islam, dimana masing-masing sistem: (modern/umum) barat dan agama (islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya.

4.     Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan islam. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan barat yang pada kenyataanya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita.[12]

Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama agama dan ilmu-ilmu umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan ilmuwan barat sehingga umat islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas ajaran agamanya.

F.    Paradigma Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

1.     Paradigma Integrasi-Interkoneksi

Paradigma integrasi-interkoneksi itu muncul karena adanya dikotomi pendidikan agama sains, dan filsafat. Selain itu disebabkan oleh perilaku manusia yang berperilaku tidak pada mestinya. Ditambah pula krisis lingkungan energi dan lain-lain. Faktanya dikotomi pendidikan lah yang menjadi pangkal dari segala faktor munculnya paradigma integrasi-interkoneksi. Dengan adanya paradigm integrasi-interkoneksi ini diharapkan mampu mencapai keterpaduan antara pendidikan agama, sains, dan filsafat. Segala krisis dapat teratasi atau paling tidak berkurang.

2.     Landasan Integrasi-Interkoneksi

Ada beberapa  landasan dalam membangun integrasi-interkoneksi, diantaranya, normative-teologis, folisofis, kultural, sosiologis, psikologis, historis.

a.      Landasan Normatif-teologis

Cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari tuhan. Bersifat mutlak. Al-Quran dan Al-Sunnah tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains teknologi dan sains humaniora)

b.     Landasan Filosofis

Perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum diharapkan mampu memahami kompleksitas kehidupan manusia.

c.      Landasan Cultural

Pendidikan tidak boleh mengabaikan budaya (potensi) local. Jika budaya atau potensi local tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan maka akan terjadi proses elitsm ilmu, sehingga ilmu menjadi kurang berfungsi dalam kehidupan nyata.

d.     Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis ini muncul karena adanya anggapan lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga kurang mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Dengan paradigma integrasi interkoneksi para lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga mampu menyelesaikan masalah masyarakat.

e.      Landasan Psikologi

Adanya pembacaan parsial dapat menyebabkan perpecahan kepribadian, oleh karena itu adanya landasan psikologis diharapkan mengubah menjadi pembacaan secara terpadu dan menyeluruh memperkuat kepribadian.

f.       Landasan Historis

Pada abad modern tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang, bahkan hampir tidak ada. Ilmu umum mampu berkembang pesat, namun mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan. Diharapkan hubungan ilmu agama dan ilmu umum meningkat, dari kompak menjadi sejahtera dan mencapai puncak lestari.

Dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis yang merujuk pada kata integrasi, yaitu sebagai kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Sebagai kata benda, integration, berarti integrasi, pengintegrasian atau penggabungan, atau integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan.

Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan.[13]

Salah satu tradisi keilmua islam adalah menyatukan antara ilmu dan amal, antara ilmu dan akhlak. Maka di dalam islam, jiak ada ilmuwan/ulama yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama islam. Para imam madzab adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlah tinggi. Seorang yang berilmu islam wajib mengamalkan ilmunya.

Kecenderungan memisahkan ilmu dari amal dalam studi islam model orientalis sangat perlu menjadi perhatian kaum muslim. Mereka membawa tradisi memisahkan ilmu dan amal. Bayak dari para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman tetapi tetap tidak beriman pada kebenaran islam. Mereka pandai tentang al-Qur’an tetapi tetap tidak mengimani Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, para sarjana muslim harus menjadi orang yang beragama yang sungguh-sungguh.

Pembahasan tentang epistemologi islam secara garis besar dapat dibagi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemology islam dalam versi filosof muslim. Dalam kaitan ini maka penting untuk melihat perkembangan filsafat di dunia islam demi mencari asal muasal dan orisinalitas berpikir mereka. Kedua, mencari epistemologi islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Quran, dimana harus dibiarkan al-Quran bicara sendiri.

Pada pembahasan bagian pertama, yaitu epistemologi islam dalam pandangan kaum filosof muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui objek non-fisik seperti Tuhan, malaikat, dan jiwa.Inilah yang paling membedakan dengan paradigm sekuler, karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa diindra.

Adapun tentang pembahasan yang kedua, epistemologik al-Quran, menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan al-Quran, maka ia menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik.[14]

Islamisasi ilmu adalah sebuah keharusan, sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi Ilmu”, padahal, tindakan islamisasi adalah proses yang wajar dari aktifitas seorang muslim. Sangat wajar jika seorang muslimislamisasi Ilmu sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi dan kaum sekuler melakukan sekulerisasi.

Islamisasi dilakukan umtuk mengembalikan ilmu pada tenpat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikananak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni manusia yang baik, yang mengenal Allah, Ikhlas menjadikan Rosulullah saw sebagia uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan mertabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatillah yang baik. 

G.   Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan.Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif.Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.

Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya, ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan sebagian besar penduduk di muka bumi ini.

Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religious yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik.Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih kesatria dan mulia. Sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.[15]

Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya akan memuaskan perasaan manusia belaka.[16]

Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:

a.      Dalam pandangan islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.

b.     Ilmu pengetahuan adalah produk alam pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.

c.      Dalam pandangan islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.

d.     Dalam pandangan islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontology rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transeden.[17]

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan Sadily, kata islamisasi berasal dari bahasa inggris “Islamization” yang berarti pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman dimana objeknya dalah orang atau manusia, bukan bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.

Konsep integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah. Kalimat ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusi, manusialah yang menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilain-nilai islam ataukah tidak.

 

B.    Saran

Saran penulis terhadap pembaca ialah mengamalkan ilmu yang kita pelajari untuk kepentingan bersama demi terwujudnya integrasi dan islaminasi yang lebih baik lagi untuk bangsa dan agama , serta memperluas lagi lingkup pengetahuan pembaca terhadap ilmu secara luas

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Bahasa Kemendiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kartanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Mizan.

Nata, Abuddin dkk. 2003. Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Mulyanto. 2002. Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta: Gema Insani.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Bandung: Mizan.

Sugiharto, Ugi. Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization. Laode M Kamaluddin dkk

Ikhrom. 2001. Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya menangkap Sebab-sebab dan Penyelesainnya, dalam buku Paradigma Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM. et. al. Yogyakarta: Pustaka Pelahar.

Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan, (terj). Oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge. Bandung: Pustaka.

Bakar, Osman. 1998. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi dkk. 2006. Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Bahtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.

LP3ES. 1985. Agama dan Tantangan Zaman. Jakarta: LP3ES.

Mahmud, Moh. Natsir. 1986. Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.



[1] Pusat Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi 3, 2011.

[2] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 32.

 

[3] Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), hlm. 171-173.

[4] Mulyanto, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2002), hlm 17-18.

[5] Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 12.

[6] Abuddin Nata, op. cit. hlm. 175-176.

[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj, (Bandung: Mizan,2003), hlm. 270.

[8] Ugi Suharto, Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization, (Laode M Kamaluddin dkk), hlm. 163.

 

[9] Ikhrom, Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya menangkap Sebab-sebab dan Penyelesainnya, dalam buku Paradigma Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM. et. al., (Yogyakarta: Pustaka Pelahar, 2001), hlm. 87-89.

[10] Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, (terj.). Oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 9-12.

[11] Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3, hlm. 61.

[12] Ikhrom, op. cit. hlm. 87-89.

[13] Azyumardi Azra, dkk, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), hlm. 47.

 

[14] Ibid, hlm. 42.

[15] Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 230.

[16] LP3ES, Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. XIII

[17] Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 129